Bayangkan ini: Anda adalah pemilik anjing selama lebih dari lima tahun. Selama itu pula, Anda berusaha memberikan nutrisi terbaik untuk anjing kesayangan, namun berbagai brand makanan anjing di pasaran tetap belum mampu memenuhi kebutuhannya—terutama karena alergi dan kebutuhan diet yang spesifik anjing Anda.
Bagi Stephani Herman, situasi ini bukan sekadar cerita, melainkan kenyataan yang akhirnya melahirkan Compawnion—sebuah brand makanan hewan peliharaan yang berawal dari pengalaman pribadi dan kepedulian terhadap kesehatan hewan peliharaan.
Sebuah revolusi tengah terjadi di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. Hubungan antara manusia dan hewan peliharaan kini mengalami perubahan mendalam, menandai munculnya tren humanisasi hewan peliharaan.
Kini, mereka tidak lagi sekadar disebut pemilik hewan, melainkan “orang tua anabul (anak bulu)”—dan kucing maupun anjing peliharaan mereka dianggap sebagai bagian penting dari keluarga. Mereka pantas mendapatkan standar terbaik dalam hal perawatan, kesehatan, dan yang paling utama, asupan nutrisi.
Perubahan budaya ini menjadi pendorong utama ledakan ekonomi baru di sektor konsumen Asia Tenggara. Pertumbuhan pasar perawatan hewan peliharaan di Indonesia tak bisa dipungkiri, dengan pendapatan sektor makanan hewan peliharaan diproyeksikan tumbuh rata-rata sebesar 8,46% per tahun (CAGR 2025–2030).
Tren ini juga tercermin di tingkat regional, di mana nilai pasar perawatan hewan peliharaan Asia Tenggara telah mencapai sekitar US$9 miliar dan diperkirakan akan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sekitar 12%, menurut laporan Redseer.
Namun, pertumbuhan ini bukan semata-mata soal angka saja, melainkan pergeseran menuju permintaan akan makanan hewan peliharaan berkualitas.
Seiring meningkatnya daya beli masyarakat, para “orang tua anabul” kini semakin selektif dalam memilih—mereka mencari produk yang premium, transparan, dan berbasis ilmu nutrisi, dan mulai meninggalkan brand massal yang umum di pasaran.
Menjawab kebutuhan tersebut, hadir Compawnion—sebuah perusahaan D2C yang didukung oleh East Ventures, didirikan oleh para pecinta hewan peliharaan yang mengubah pengalaman pribadi mereka menjadi misi nutrisi bagi anabul di Indonesia.
Keresahan “orang tua anabul” mencari makanan kucing dan anjing yang tepat
Seperti kata Stephani, “Semuanya berawal dari rasa frustrasi.”
Founder sekaligus CEO Compawnion, perusahaan makanan hewan peliharaan D2C berbasis di Jakarta ini, memiliki seekor anjing betina yang sudah berumur—dan sang anjing “tidak mau makan apa pun kecuali jika [Stephani] masak daging segar untuknya.”
Kedua rekan founder-nya, Valerie Amintohir (Chief Product Officer) dan Tania Suganda (Chief Marketing Officer), juga menghadapi tantangan serupa.
Anjing peliharaan mereka memiliki alergi terhadap hampir semua jenis makanan, dan lebih dari 40 brand makanan hewan yang mereka coba tetap tidak berhasil. Stephani ingat, ketiganya bahkan sempat membuat daftar khusus untuk mencatat semua brand yang telah mereka coba demi mencari solusi terbaik bagi anabul mereka.
Anabul mereka menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan: lesu, bulu kusam dan rontok terus-menerus, hingga masalah pencernaan yang cukup parah.
Penyebabnya ternyata sederhana—namun tetap mengejutkan: nutrisi yang tidak memadai.
Dari situ terungkap kesenjangan besar di pasar, sebuah industri dengan permintaan yang tinggi, tetapi minim pilihan makanan hewan peliharaan yang mudah diakses, tepercaya, bergizi, dan berbasis ilmu nutrisi.
Stephani menjelaskan bahwa banyak merek di pasaran mengklaim produknya “grain-free”, atau tidak mengandung biji-bijian, namun tetap tercantum dalam daftar bahan. Ada pula makanan kucing yang dipasarkan dengan kadar protein 28%, tetapi setelah diuji di laboratorium internal mereka, hasilnya hanya 24%.
Inilah celah yang ingin diisi oleh Compawnion. Dengan produksi lokal, pemanfaatan bahan-bahan alami, serta formulasi yang secara biologis ideal bagi hewan peliharaan, Compawnion ingin menjembatani kesenjangan ini dan membawa nutrisi yang jujur, sehat, dan terpercaya bagi setiap anabul di Indonesia.
Tujuannya bukan sekadar agar anabul bisa bertahan hidup—tetapi agar mereka bisa tumbuh sehat dan happy.
— Stephani Herman
Lihat lebih dekat: Dapur pembuatan makanan kucing dan anjing di Compawnion
Filosofi Compawnion berakar pada transparansi dan kualitas, dengan menerapkan daftar “larangan” terhadap berbagai bahan yang sering ditemukan pada produk massal di pasaran.
Yang pertama, dan paling penting, adalah penolakan total terhadap by-product atau produk sampingan. Misalnya, pada produk berbasis ayam, by-product sering kali mencakup campuran seperti paruh dan bulu ayam yang diolah bersama.
Labelnya mungkin terlihat “menggiurkan” dengan klaim kadar protein tinggi, namun secara kualitas, bahan-bahan tersebut tidak memberikan manfaat nyata bagi kesehatan hewan peliharaan.
Selanjutnya, Compawnion juga melarang penggunaan pengawet dan pewarna buatan, karena dapat berdampak negatif terhadap kesehatan anabul dalam jangka panjang. Setiap produknya diformulasikan dengan ketat untuk meminimalkan bahan kimia sintetis.
Rahasia di balik resep “tanpa pengawet” ini terletak pada teknologi Sterizero™, sebuah metode berpaten yang menggunakan pengaturan suhu presisi untuk menghilangkan bakteri dan patogen berbahaya tanpa merusak kandungan nutrisi alami.
Faktanya, Compawnion merupakan salah satu, bahkan mungkin satu-satunya brand makanan hewan lokal di Indonesia yang telah mengadopsi teknologi Sterizero™.

Terakhir, Compawnion juga menolak penggunaan bahan pengikat seperti jagung, gandum, dan kedelai. Bahan-bahan ini sering digunakan untuk menambah volume dan membuat label kandungan gizi terlihat “penuh.”
“Kucing adalah karnivora—mereka tidak dapat mencerna sebagian besar karbohidrat sebaik omnivora seperti anjing. Tubuh mereka tidak memiliki enzim yang dibutuhkan untuk memecah karbohidrat dan mengambil manfaat nutrisinya,” jelas Stephani.
Namun, yang benar-benar membedakan produk premium Compawnion adalah fondasi ilmiahnya. “Salah satu co-founder kami, Valerie, adalah seorang ahli nutrisi anjing (canine nutritionist). Di bawah bimbingannya, Fiona berperan sebagai ahli nutrisi kucing (feline nutritionist)—kami memiliki dua fokus berbeda,” ujar Stephani.
Selain itu, Compawnion telah meraih Sertifikasi NKV Level 1—standar kualitas ekspor tertinggi untuk produk pet food di Indonesia—dan secara rutin melakukan uji laboratorium untuk memastikan produknya bebas dari Salmonella, E. coli, dan Clostridium.
Berbeda dengan banyak pemain lain yang sekadar mencari pemasok dari Tiongkok atau Thailand lalu menjual kembali produk tersebut dengan brand sendiri, Compawnion benar-benar memahami apa yang ideal bagi hewan peliharaan, sekaligus menjaga komitmen terhadap kualitas dan integritas produk.
Komitmen ini bahkan sempat diuji akhir-akhir ini. “Kami pernah mengalami satu insiden di mana, karena kesalahan manusia, dua resep—daging domba dan daging kelinci—tercampur dalam proses produksi,” ujar Stephani.
Bagi perusahaan lain, batch tersebut mungkin dianggap “aman” dan tetap dijual ke pasar. Namun bagi Compawnion, keputusan tegas diambil: seluruh batch ditarik dan tidak dijual untuk umum.
“Tentu saja kami tidak bisa menjualnya,” tegas Stephani. “Karena itu berarti kami mengkhianati standar kualitas kami sendiri—sama saja dengan berbohong kepada pelanggan. Lebih penting lagi, banyak anjing dan kucing peliharaan yang memiliki alergi. Anjing yang alergi terhadap daging domba mungkin hanya bisa makan daging kelinci. Dampak kesehatannya bisa sangat berisiko.”
Batch tersebut, yang sebenarnya tetap bergizi dan aman dikonsumsi, kemudian dikemas ulang dan dijual dengan harga diskon hanya untuk karyawan internal yang anabul-nya tidak memiliki alergi.
Keputusan ini memang merugikan, namun prinsip utama tetap nomor satu: menjaga kepercayaan di atas segalanya.
Brand di balik Compawnion: Catto yang naik daun di pasar makanan kucing
Portofolio Compawnion mencakup sejumlah merek andalan seperti Pawmeals, UGO Dog Food, dan bintang yang tengah naik daun, Catto Cat Food. Fokus pada makanan kucing ini bukan kebetulan, melainkan langkah strategis.
“Kenapa makanan kucing? Karena 47% pemilik hewan peliharaan di Indonesia memiliki kucing, sementara hanya 10% yang memiliki anjing, dan sisanya ada reptil, burung, serta hewan lain,” jelas Stephani, mengutip hasil riset pasar dari Rakuten Insight.
Meski demikian, ia melihat bahwa produk yang ada di pasaran belum benar-benar sesuai dengan kebutuhan kucing peliharaan. Dari sinilah Catto hadir sebagai solusi, dibangun di atas tiga keunggulan utama yang membedakannya dari produk lain:
1. Dirancang dengan tujuan
Stephani menjelaskan bahwa tim Compawnion menaruh perhatian besar pada setiap detail desain produk—bahkan hingga ke ukuran butiran kibble, karena “kucing memang lebih suka seperti itu—lebih lembut dan mudah untuk dikunyah.”
Yang paling menonjol, Catto mengombinasikan dada ayam asli yang melalui proses freeze-dried bersama kibble kering. “Tujuannya adalah untuk mendidik pasar—dan juga kucing itu sendiri. Dengan memberikan daging asli, kami ingin menunjukkan seperti apa nutrisi yang sesungguhnya, baik dari rasa maupun manfaatnya,” ujar Stephani.
2. Formulasi yang ideal
Di sinilah standar tinggi Compawnion benar-benar terlihat. Jika menurut standar global—seperti yang ditetapkan oleh Association of American Feed Control Officials (AAFCO) dan European Pet Food Industry Federation (FEDIAF)—kadar protein minimum dalam makanan kucing berada di angka 26%, maka Catto melampauinya jauh dengan kadar protein mencapai 40%.
3. Bahan dengan integritas tinggi
Kadar protein 40% tersebut bukan berasal dari bahan nabati. Seperti disebutkan sebelumnya, kucing adalah karnivora; mereka tidak dapat mencerna protein nabati dari tempe atau jamur secara optimal. Karena itu, berbagai varian Catto diformulasikan dengan 85% protein hewani asli.
“Kombinasi antara desain yang tepat, formulasi ideal, dan bahan berkualitas tinggi menjadi tulang punggung dari peningkatan signifikan pada kondisi kucing,” ujar Stephani.
Hasilnya dapat terlihat dan terukur: tidak ada lagi bulu rontok berlebihan atau muntah hairball, energi yang meningkat namun tetap seimbang, dan yang paling nyata—kotoran kucing yang lebih sehat, karena makanan lebih mudah dicerna tubuh mereka.
Indonesia dulu, Asia Tenggara berikutnya
Bersaing dengan brand multinasional besar tentu bukan perkara mudah, namun Stephani meyakini bahwa Compawnion memiliki dua keunggulan utama: kecepatan dan lokalisasi.
Dengan tetap berfokus pada pasar Indonesia, Compawnion mampu menangkap tren dan kebutuhan pasar dengan cepat.
Pendekatan yang relevan dan adaptif ini membuat mereka dapat lebih presisi serta selaras dengan preferensi pelanggan lokal, menjadikan Compawnion pelopor lokal yang memahami anabul Indonesia dengan lebih baik.
Strategi ini juga diterapkan dalam rantai pasok (supply chain) mereka. Meski tidak sepenuhnya lokal, Compawnion memilih untuk mengimpor daging sapi dari Australia karena standar tersebut diakui secara internasional dan mendukung rencana ekspor jangka panjang mereka.
Namun, kemitraan lokal tetap menjadi fondasi utama. Misalnya, untuk bahan daging kelinci, Compawnion bekerja sama langsung dengan peternak lokal di dalam negeri, memastikan kualitas sekaligus mendukung ekosistem petani Indonesia.
Dengan pondasi kuat di pasar domestik, Compawnion kini melihat potensi pertumbuhan kepemilikan hewan peliharaan di Asia Tenggara yang terus meningkat.
Setelah meluncurkan berbagai produk unggulan, langkah selanjutnya bagi perusahaan ini adalah memperluas distribusi hingga 100% di pet shop di seluruh Indonesia, sebelum melangkah ke panggung regional.
“Selanjutnya, kami berencana untuk ekspor ke sepuluh negara di Asia Tenggara.”
“Pasar Asia Tenggara lainnya sebenarnya lebih premium dibandingkan Indonesia; harga per kemasannya pun lebih tinggi,” ujar Stephani. “Jadi, produk premium kami justru akan dianggap terjangkau di pasar tersebut.”
Bagi Stephani, pesan terakhir untuk para orang tua anabul di Indonesia sederhana namun kuat.
“Tentu, yang lebih mahal, banyak. Tapi itu tidak menjamin kualitasnya,” tegasnya.
“Yang terpenting adalah kredibilitas dan kepercayaan. Kami akan selalu jujur dan konsisten menjaga kualitas sesuai standar tinggi kami—bahkan melampaui standar minimum internasional. Itulah janji kami untuk Anda dan anabul kesayangan Anda.”
Pelajari lebih lanjut pandangan kami tentang startup D2C di sini.










