Adrian Gilrandy Co-Founder CEO of Praktis
East Ventures

Share

13 Februari, 2023

From Portfolios

Cara startup Praktis, perkuat UMKM dengan kolaborasi

Ada dua jenis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menurut Co-Founder dan CEO Praktis Adrian Gilrandy. Pertama, UMKM yang memiliki kemampuan untuk menjual langsung ke konsumen. Kedua, UMKM yang mampu menghasilkan produk.

Agil, sapaan akrabnya, merasa kedua jenis UMKM ini berjalan sendiri-sendiri. Padahal, mereka dapat saling menguatkan jika berkolaborasi.

Keduanya perlu platform untuk dapat berkolaborasi. Agil membangun Praktis pada 2017 untuk menemukan solusi tersebut. Sebuah startup pengelola rantai pasokan atau supply chain para UMKM.

“UMKM kecil-kecil, sendiri-sendiri sulit berkembang. Kita harus bertumbuh bersama,” katanya dalam bincang-bincang Impacttalk bersama Impactto, Juni 2022 silam.

Perusahaan rintisan atau startup Praktis mengelola rantai pasokan mulai dari pengadaan dan produksi, logistik, manajemen pesanan, hingga pembiayaan modal kerja. Klien mereka saat ini termasuk merek fashion dan kecantikan yang memiliki bisnis menjual langsung ke konsumen atau direct-to-consumer (DTC).

Dengan bantuan Praktis, merek-merek tersebut bisa lebih fokus untuk mengembangkan bisnisnya. Pengelolaan rantai pasokan dengan skala besar juga membuat kontrol inventaris lebih optimal dan hemat biaya.

Membantu klien berkembang

Praktis utamanya menargetkan brand yang sudah cukup mapan. Agil mengungkapkan biasanya perusahaan-perusahaan ini sudah bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp 100 juta – Rp 200 juta per bulan.

UMKM tersebut sudah beranjak dari perusahaan kecil menuju menengah. Ini membuat tingkat kesulitan dalam menjalankan perusahaan meningkat. Mulai dari organisasi hingga skala transaksi yang lebih besar. “Di titik ini, mereka butuh rekanan,” katanya.

Kesulitan ini tidak asing bagi Agil. Sebelum di Praktis, dia adalah Chief Operating Officer Brodo–sebuah perusahaan sepatu asal Bandung. Dia juga lulusan manajemen rantai pasok di University of Groningen, Belanda.

Di titik transisi ini, banyak brand mengalami kesulitan dalam mengelola bisnis yang berkelanjutan bahkan mengembangkan bisnis mereka. Praktis pun hadir untuk mengelola operasional tersebut. Sementara, brand dapat fokus merancang dan memasarkan produk mereka.

Praktis juga percaya perusahaan-perusahaan ini memiliki potensi yang sangat besar. Pasar direct-to-consumer (DTC) Indonesia untuk produk konsumen diperkirakan tumbuh US$ 36,12 miliar atau sekitar Rp 546 triliun per tahun. Ini juga yang menjadi fokus klien perusahaan.

Pertumbuhan pasar DTC juga tercermin dalam pendapatan Praktis. Pada 2021, pendapatan bulanan Praktis tercatat tumbuh 12 kali dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Praktis juga memperkirakan pendapatan ini masih bisa tumbuh enam kali lipat dalam waktu dekat.

Praktis kini sudah mempekerjakan lebih dari 100 orang di perusahaannya. Klien-klien yang sudah bergabung dengan Praktis termasuk Brodo, Elhaus, NAH Project, Love & Fair, Roughneck, dan lain-lain.

Pada akhir 2021, Praktis mendapat pendanaan pra seri A dari East Ventures. Ini merupakan pendanaan Praktis yang kedua setelah mendapat pendanaan dari Triputra Group.

Pendanaan sebagai amanah

Sejak berdiri, Praktis memang baru mendapat pendanaan atau funding dua kali, setidaknya yang dipublikasi. Minimnya pendanaan ini memang sejalan dengan visi Agil yang menganggap startup masih bisa berjalan tanpa funding.

Agil bercerita Praktis memang berstatus bootstrap dalam dua tahun pertama. Bootstrap berarti startup yang tidak mengandalkan pendanaan eksternal untuk berjalan. Jika memang butuh modal, para co-founder mengandalkan dompet sendiri.

Menurutnya, tahap awal startup harusnya digunakan untuk menciptakan pasar terlebih dahulu dan ini tidak sepenuhnya membutuhkan pendanaan. Ketika marketnya sudah ada, baru startup dapat menggalang pendanaan.

“Kalau pasarnya aja belum ada, masih dalam bentuk ide, menurut saya agak bahaya untuk mendapatkan funding, ujarnya.

Agil bersama co-founder lainnya menganggap pendanaan adalah sebuah amanah. Ketika investor memberikan pendanaan, berarti ada ekspektasi perusahaan tumbuh lebih besar.

Uang masuk, menurut dia, menambah tekanan untuk bertumbuh. “Akhirnya, ketika tekanannya tinggi dan waktunya terbatas itu yang akhirnya banyak penyalahgunaan dana,” kata Agil.

Di situasi tersebut, biasanya startup justru menggunakan dana untuk misalnya subsidi atau insentif untuk menggunakan produknya. Cara ini bertujuan untuk memenuhi ekspektasi investor. Namun, Agil mengatakan situasi ini adalah jebakan dan justru tidak mengembangkan bisnis.

***
Artikel asli di Katadata, 9 Februari 2023.