Teknologi iklim (climate tech) di Asia Tenggara berada di persimpangan jalan. Sebagai salah satu wilayah paling dinamis secara ekonomi di dunia, wilayah ini juga merupakan salah satu yang paling rentan terhadap dampak parah perubahan iklim.
Indonesia, khususnya sebagai negara dengan industri manufaktur dan pertanian yang kuat, tengah menghadapi tantangan mendesak dan sistemik, mulai dari jaringan listrik yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil hingga limbah tekstil dan pertanian yang terus meningkat.
Transisi menuju energi terbarukan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, mengingat besarnya cadangan sumber daya fosil dalam negeri. Meski demikian, Jakarta telah menunjukkan komitmennya untuk berpartisipasi dalam transisi energi bersih melalui keterlibatannya dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) serta berbagai inisiatif di lingkup ASEAN.
Tidak ketinggalan, selama beberapa dekade terakhir (1971 hingga 2020), suhu rata-rata di Indonesia telah meningkat sebesar 0,28°C per dekade, dengan perkiraan kenaikan sebesar 0,25°C per dekade dari tahun 2000 hingga 2050.
Menurut laporan Bank Dunia, peningkatan suhu berkontribusi pada meningkatnya kebutuhan energi untuk pendinginan, penurunan hasil panen, serta peningkatan permintaan air, sekaligus menciptakan kondisi yang lebih ideal bagi pertumbuhan hama.
Di East Ventures, kami percaya bahwa untuk menghadapi tantangan-tantangan ini dibutuhkan lebih dari sekadar modal; ini juga memerlukan sebuah paradigma teknologi yang baru.
Inilah inti dari tesis AI-first kami, yang dijabarkan dalam white paper berjudul “AI-first: Decoding Southeast Asia Trends.” Dalam kajian tersebut, kami memandang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) bukan sebagai industri yang berdiri sendiri, melainkan sebagai penggerak horizontal yang krusial.
AI merupakan alat yang kuat untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan skala pada sektor-sektor “tradisional” yang menjadi fondasi utama perekonomian kita.
Bidang climate tech pun tidak terkecuali. Pendekatan “AI-first” ini sama pentingnya di berbagai sektor lainnya sebagaimana dalam climate tech. Gelombang inovasi baru inilah yang ingin kami dorong bersama Temasek Foundation melalui Climate Impact Innovations Challenge (CIIC).
Sang katalis: Climate Impact Innovations Challenge
Memasuki tahun ketiganya, CIIC telah menjadi salah satu platform yang paling dinantikan di Indonesia bagi para inovator teknologi untuk menampilkan inovasi berkelanjutan mereka dalam menghadapi tantangan ekologis dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Tahun ini, Climate Impact Innovations Challenge menganugerahkan total hadiah sebesar Rp10 miliar kepada tiga pemenang: Aslan Renewables (trek Transisi Energi), Arukah Capital (trek Pertanian Berkelanjutan), dan SXD AI (trek Ekonomi Sirkular).
Tiga pemenang dipilih dari lebih dari 500 peserta yang berasal dari lebih dari 50 negara di seluruh dunia. Pada tahap pertama, terpilih sembilan finalis yang kemudian menjalani proses mentorship intensif selama beberapa bulan bersama para pemimpin industri untuk menyempurnakan proyek mereka sebelum akhirnya mempresentasikan final pitch di acara Grand Finale.
Meski beroperasi di sektor yang beragam, para inovator ini memiliki satu kesamaan: kemampuan mereka dalam mengintegrasikan AI secara canggih dan efisien untuk menjawab tantangan besar yang bersifat sistemik.
Pembahasan tentang AI sangat luas, dan para pemenang CIIC 2025 ini menunjukkan bahwa kekuatan terbesar AI terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan lebih banyak—lebih banyak energi, pangan, dan material—dengan limbah, emisi karbon, dan biaya yang jauh lebih rendah.
Kenali para pemenang: Aksi nyata AI di tiga trek utama
Transisi Energi – Aslan Renewables
Didirikan oleh Andrew Murray, Aslan Renewables menjawab kebutuhan Indonesia akan pasokan listrik yang stabil dan berkelanjutan melalui penerapan sistem hidroelektrik modular.
Namun, alih-alih membangun bendungan besar yang berpotensi mengganggu ekosistem, mereka memanfaatkan aliran air gravitasi alami dari jaringan kanal irigasi yang luas di seluruh Indonesia.

Setiap unit dirancang secara ringkas, dibuat dengan metode prefabrikasi, dan dapat dipasang dengan cepat. Namun, inovasi sesungguhnya terletak pada platform pemantauan jarak jauh yang terintegrasi dengan AI.
Lapisan AI inilah yang menjadi kunci skalabilitas—memungkinkan operasi secara otonom, perawatan prediktif, serta pelaporan kepatuhan regulasi yang efisien.
Teknologi ini juga memungkinkan Aslan Renewables untuk mengelola jaringan aset energi yang besar dan terdesentralisasi, yang dapat menyalurkan listrik stabil selama 24 jam ke jaringan nasional maupun microgrid lokal.
Dengan mengubah infrastruktur air pertanian menjadi aset energi terdesentralisasi, solusi ini menawarkan jalur bagi Indonesia untuk mempercepat perluasan kapasitas energi terbarukan, memperkuat elektrifikasi pedesaan, serta mengurangi emisi karbon—semuanya tanpa mengganggu sistem pangan maupun membutuhkan lahan yang luas.
Aslan Renewables akan mulai menerapkan solusi inovatifnya di Indonesia dalam enam bulan ke depan, dan hingga kini telah menjalin kolaborasi dengan berbagai mitra lokal melalui program CIIC.
Pertanian Berkelanjutan – Arukah Capital
Arukah Capital tengah membangun model ekonomi baru bagi petani kecil dengan mengubah limbah pertanian—yang saat ini kurang dari 0,1% dimanfaatkan untuk biochar—menjadi produk biochar bernilai tinggi.
Model ini berlandaskan prinsip radical alignment: Arukah menanggung biaya proyek di awal dan memberikan 50% pendapatan dari carbon credit langsung kepada para petani.
Model climate income ini dimungkinkan berkat solusi berbasis AI. Arukah memastikan integritas tinggi dalam desain produknya melalui sistem pelacakan digital (MRV) yang memberikan transparansi serta kepastian hukum.

Melalui pelacakan digital dan penggunaan ID petani yang unik, Arukah menghasilkan carbon credit yang sesuai standar registri dan dapat diverifikasi secara digital. Pendekatan ini membangun kepercayaan dengan para pembeli karbon sekaligus memastikan pembayaran pendapatan kepada petani berlangsung secara adil, aman, dan transparan melalui sistem digital.
Solusi yang ditawarkan Arukah menjawab tantangan sistemik dalam industri pertanian berkelanjutan di Asia Tenggara dengan mendorong pengentasan kemiskinan, meningkatkan ketahanan pangan melalui pupuk biochar produksi lokal, serta mengubah pengelolaan limbah dari beban biaya menjadi sumber pendapatan positif bagi iklim bagi pelaku agribisnis.
Perusahaan ini menargetkan untuk mencapai skala dekarbonisasi sebesar 1 gigaton dengan membuka akses climate income bagi 100 juta petani kecil.
Pada Juni 2025, Arukah resmi bergabung dalam jajaran portofolio East Ventures yang kini mencakup lebih dari 300 perusahaan startup teknologi.
Ekonomi Sirkular – SXD AI
SXD AI, model yang dikembangkan oleh perusahaan busana zero-waste Shelly Xu Design (SXD), berupaya mengatasi permasalahan limbah besar di industri fashion—yang mencapai 2,3 juta ton per tahun di Indonesia—dengan menyasar sumbernya: tahap perancangan desain.
SXD kini telah bekerja sama dengan Busana Apparel Group, salah satu produsen pakaian terbesar di Indonesia, untuk membangun sistem desain zero-waste pertama di Tanah Air.

SXD AI yang telah dipatenkan mampu menghasilkan desain zero-waste yang dapat dikembangkan.
Dilatih menggunakan data eksklusif selama 15 tahun, AI ini menjadi solusi pertama yang mampu menerapkan desain zero-waste secara real-time di berbagai gaya dan ukuran.
Teknologi ini tidak sekadar mengatur pola, tetapi mengubah setiap komponen menjadi “potongan puzzle efisien” tanpa menyisakan ruang terbuang.
Teknologi AI ini dirancang khusus untuk keberlanjutan, dengan emisi CO₂ yang 1.000–10.000 kali lebih rendah dibandingkan model B2C berskala besar seperti ChatGPT selama proses pelatihan dan inference.
Total emisinya tetap di bawah 1 kg CO₂ per tahun—kurang dari sepertujuh emisi yang dihasilkan dari pembuatan satu kaus.
Yang terpenting, efisiensi ini bukan semata-mata untuk keuntungan, melainkan menjadi sarana untuk mendorong keadilan sosial.
SXD mewajibkan para mitranya untuk menginvestasikan kembali penghematan biaya tersebut ke dalam pembayaran upah yang layak—sebuah langkah progresif di industri yang kurang dari 2% pekerjanya menerima upah layak.
Perusahaan ini telah membuktikan efektivitas model tersebut melalui proyek sebelumnya, di mana para penjahit pengungsi iklim (climate refugee) mampu memperoleh pendapatan 2–4 kali lipat dari upah lokal.
Mengapa kami percaya dengan “AI-first”
Aslan Renewables, Arukah Capital, dan SXD AI bukan sekadar pemenang kompetisi; mereka adalah acuan bagi masa depan climate tech di Asia Tenggara.
Ketiganya semakin memperkuat tesis “AI-first” kami: bahwa ketika diterapkan dengan tepat, AI menjadi katalis yang membuat bisnis lebih skalabel, transparan, dan produktif.
East Ventures meyakini bahwa setiap bisnis perlu beradaptasi dan mengadopsi AI agar tetap relevan dan kompetitif di tengah lanskap pasar yang terus berkembang pesat.
Kami juga melihat adanya deretan perusahaan portofolio kami yang memanfaatkan foundation model yang sudah ada dan mengembangkan solusi siap pakai di atasnya.
Sebagai contoh, di luar climate tech, kami telah berinvestasi dalam inovasi berbasis AI dalam berbagai vertikal, termasuk Sxored (fintech), Mesh Bio dan Nexmedis (kesehatan), Prep and Ruangguru (edtech), waresix (logistik), dan lainnya.
Telusuri lebih jauh dan dapatkan wawasan selengkapnya mengenai startup berbasis AI dengan mengunduh white paper berikut.
Saat para founder ini meluncurkan proyek perdananya di Indonesia, mereka menjadi representasi dari generasi baru inovasi yang dengan bangga kami dukung di East Ventures.
Keberhasilan mereka tidak hanya diukur dari seberapa besar emisi yang dikurangi atau limbah yang dihilangkan, tetapi juga dari masa depan yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan yang mereka bangun bagi seluruh Asia Tenggara.
Jika Anda tengah mengembangkan solusi climate tech atau berbasis AI—atau bahkan keduanya—kami ingin mendengar pitch Anda.
Baca lebih lanjut tentang Climate Impact Innovations Challenge 2025.






