Insights
Teknologi genomika: Jalan menuju Indonesia yang lebih sehat
Pengurutan genom di sektor kesehatan Indonesia telah meningkat pesat sejak pandemi COVID-19, meskipun masih dalam tahap awal.
Semenjak pandemi, Indonesia telah mengidentifikasi sekitar 40.000 urutan virus atau patogen – yang paling banyak sejauh ini. Ini merupakan titik awal yang baik untuk implementasi genomik di sektor kesehatan di Indonesia.
Genomika menjadi salah satu fokus Kementerian Kesehatan Indonesia, terutama setelah meluncurkan Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi) pada Agustus lalu. Tidak hanya mendukung peluncuran BGSi, East Ventures, perusahaan modal ventura terkemuka di Indonesia sejak 2009, menyatakan dukungan kuat kami untuk memajukan sektor kesehatan Indonesia, termasuk genomik sequencing dan teknologi.
Pernyataan tersebut disampaikan Willson Cuaca, Co-Founder dan Managing Partner East Ventures, saat sesi diskusi “Genomics Technology: A Path to a Healthy Indonesia” – pada peluncuran white paper “Genomics: Leapfrogging into the Indonesian healthcare future” pada 16 Februari 2023.
Turut hadir dengan pembicara lainnya adalah Dr. L. Rizka Andalucia, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; Fatma Aldila, Senior Clinical Research Associate Nalagenetics; Sharlini Eriza Putri, Co-Founder dan CEO Nusantics; dan Dr. Neni Nurainy, Kepala Pengembangan Produk Biofarmasi Transnasional di PT Bio Farma. Sesi ini dimoderatori oleh Roshan Raj, Partner di Konsultan Strategi Redseer.
Melalui pengurutan genomik, peneliti dapat melakukan penelitian genomik dan menyelidiki variasi gen yang terkait dengan penyakit atau kondisi kesehatan tertentu di Indonesia. Hal ini menjadi penting untuk mempromosikan inovasi layanan kesehatan di sektor publik dan swasta yang dapat melahirkan startup teknologi kesehatan baru.
Namun, itu tidak datang tanpa hambatan. Dr. Neni mengungkapkan bahwa terdapat gap yang lebar antara inovasi dan komersialisasi. Durasi dari tahap penemuan hingga komersialisasi mungkin memakan waktu 8 hingga 12 tahun, dan ini termasuk penemuan vaksin dan obat.
Inilah mengapa genomik dapat mempercepat pengembangan diagnostik, vaksin, dan obat untuk memastikan bahwa produk dipasarkan pada waktu yang tepat untuk mempertahankan dampaknya.
“Dengan perkembangan pesat di setiap industri, waktu menjadi terkompresi – segalanya menjadi lebih cepat. Diperlukan dana yang ‘sabar’. East Ventures memahami masalah ini. Oleh karena itu kami sedang menyiapkan dana khusus yang dapat ‘menunggu dengan sabar’ untuk mendukung sektor kesehatan dalam jangka panjang. Ini untuk memastikan semua peneliti dapat melakukan pekerjaannya, mengkomersialkan IP dan produksinya dalam jangka panjang,” kata Willson.
Pemerintah juga memainkan peran penting dalam mempercepat misi ini. Inisiatif BGSi digagas demi membantu masyarakat Indonesia melompat ke era kedokteran presisi. Untuk tujuan ini, BGSi menyediakan data genomik dan data klinis serta mengundang startup kesehatan, profesional, peneliti, dan perusahaan farmasi untuk bergabung dengan mereka, klaim Dr. Rizka.
Sharlini juga percaya bahwa genomik merupakan peluang besar bagi Indonesia di peta bisnis obat-obatan blockbuster karena kita memiliki dua bahan paling kuat dari formula ini.
“Pertama, Indonesia merupakan salah satu negara dengan keragaman genetik tertinggi secara global. Kedua, negara ini memiliki populasi yang besar dan kelas menengah yang meningkat – yang berarti bahwa kita dapat melewati massa kritis minimum untuk perusahaan farmasi mana pun untuk menjadi perusahaan farmasi global,” kata Sharlini.
“Kini, kita menghadapi banyak krisis planet: perubahan iklim, polusi, dan banyak lainnya. Kita tidak bisa terus mengandalkan penemuan dan obat-obatan ‘ajaib’. Genomik menjadi kunci untuk menemukan biomarker baru dan mengembangkan diagnostik terobosan sambil mempelajari cara mengelola penyakit dengan lebih baik. Ini yang kami lakukan di Nusantics,” sambungnya.
Sementara itu, Nalagenetics sedang mempersiapkan pengembangan tes prediksi risiko. Ini menghadirkan tantangan seperti keragaman etnis penduduk Indonesia, persyaratan peraturan yang tidak jelas, dan kurangnya insentif.
“Setelah kami memiliki perhitungan risiko yang akurat berdasarkan etnis atau populasi Indonesia, kami membutuhkan perekrutan massal untuk populasi penelitian. Tapi ini bukan pekerjaan mudah. Tanpa hibah studi, misalnya, kita harus menginvestasikan banyak sumber daya, finansial dan non-finansial. Ini juga cukup menantang karena kekhawatiran akan keamanan data. Masyarakat semakin khawatir dengan hal ini,” kata Fatma.
“Semua peneliti dan pengusaha yang baik berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan apa yang ingin mereka lakukan. Mudah-mudahan dengan ekosistem yang lebih luas: bersama Bio Farma, peneliti lain, dan bahkan pemerintah, kita memiliki pemangku kepentingan yang lengkap, yang bersatu untuk berbuat sesuatu bagi penduduk Indonesia yang besar,” tutup Willson.
***
Anda dapat mengunduh white paper kami di east.vc/genomics.