Startup Fintech di Indonesia: Semua Hal yang Perlu Kamu Tahu
28 May 2019
Salah satu bisnis online yang sangat berkembang di tengah masyarakat Indonesia adalah e-commerce alias toko online. Bisnis ini memberi kemudahan bagi seluruh masyarakat untuk memasarkan produk. Meski begitu, e-commerce bukanlah satu-satunya vertikal startup yang berkembang di tanah air. Selain mereka, pelaku teknologi juga dikejutkan dengan munculnya sebuah industri baru yang disebut FinTech (financial technology).
Pengertian dan jenis-jenis startup FinTech Indonesia
Istilah Fintech, atau Teknologi Finansial, awalnya digunakan untuk mendeskripsikan teknologi baru yang bisa membantu memperbaiki dan mengotomasi layanan finansial. Terutama yang berhubungan dengan sistem backend dari institusi keuangan yang telah ada.
Saat ini, istilah tersebut telah berkembang dan mencakup lebih banyak sektor yang berhubungan dengan konsumen, seperti:
- inovasi dan automasi untuk layanan keuangan,
- peningkatan literasi,
- pendampingan dan edukasi keuangan,
- pengelolaan uang,
- pinjam meminjam,
- retail banking,
- penggalangan dana,
- transfer uang dan pembayaran,
- investasi,
- penggunaan mata uang virtual (cryptocurrency).
Saat ini bahkan ada juga perusahaan FinTech di bidang-bidang khusus, seperti fintech pendidikan dan fintech pertanian.
Ekosistem startup di Indonesia tengah mengalami perkembangan yang eksponensial. Google dan Temasek memproyeksikan ekonomi digital Indonesia akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Nilai pasar di negara tersebut bisa meningkat tiga kali lipat dari US$27 miliar pada tahun 2018 menjadi US$100 miliar pada tahun 2025.
Dalam hal pendanaan startup, fintech merupakan satu dari dua sektor yang paling banyak mendapat pendanaan (selain e-commerce), dan salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat selama beberapa tahun terakhir. Sebuah riset pada bulan Mei 2018 yang dipublikasikan oleh Fintech Singapore menyebutkan bahwa total investasi yang dipublikasikan untuk perusahaan fintech di Indonesia pada tahun 2017 berjumlah US$176 juta.
Jutaan orang tanpa rekening bank
Pada tahun 2016, perusahaan audit global KPMG melaporkan bahwa hanya 27% dari masyarakat di Asia Tenggara yang mempunyai rekening bank. Ini artinya, ada sekitar 438 juta orang yang tidak mempunyai rekening bank di wilayah ini. Masyarakat Indonesia sendiri bisa mencapai 40% dari total populasi di Asia Tenggara, membuatnya dikenal sebagai pasar yang belum terjamah untuk fintech. Pada bulan Juli 2018, 50% dari masyarakat Indonesia masih belum mempunyai rekening bank. Banyak penduduk Indonesia yang saat ini masih menerima gaji dan melakukan pembayaran dengan uang tunai.
Namun, Indonesia juga merupakan negara dengan kenaikan jumlah rekening bank terbesar di Asia Tenggara, dari 20% di tahun 2011 menjadi 36% di tahun 2014 dan mencapai 49% di tahun 2017. Indonesia juga mempunyai budaya menabung yang kuat dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, dengan penggunaan rekening bank 10% lebih tinggi dibanding rata-rata negara berkembang lainnya.
Peningkatan ini disebabkan oleh dua faktor penting. Pemerintah, melalui strategi nasional untuk inklusi keuangan, menetapkan target agresif agar jumlah masyarakat Indonesia yang mempunyai rekening bank pada tahun 2019 mencapai 75%. Mereka juga akan menghubungkan data biometrik nasional (e-KTP), yang telah dimiliki oleh 90% masyarakat Indonesia, ke sistem pembayaran. Dengan begitu, institusi keuangan bisa mendigitalisasi proses autentikasi dan pembayaran.
Pemerintah Indonesia juga membuat aturan yang progresif terkait e-money, dan membuka kesempatan untuk startup fintech di ekosistem pembayaran. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia memperkenalkan proses regulatory sandbox pada tahun 2018 untuk para startup fintech yang memungkinkan mereka untuk beroperasi dengan lebih jelas dan lebih kredibel, sembari menjaga pelanggan mereka dengan lebih baik. Kedua, penetrasi smartphone yang kuat membantu mempercepat digitalisasi industri keuangan, hingga meningkat dari 32,6% di tahun 2014 menjadi sekitar 47,6% pada tahun 2019.
Fokus ke pembayaran dan pinjaman
Perpaduan peningkatan digitalisasi dan kesadaran keuangan menunjukkan bahwa startup fintech di Indonesia mempunyai tantangan yang sangat berbeda dari negara berkembang lain di Barat dan Asia Timur, yang lebih banyak menggunakan kartu kredit. Dari 167 startup fintech di Indonesia, 38% di antaranya berada di sektor pembayaran dan 31% di sektor pinjaman. Hal ini menunjukkan kebutuhan utama dari masyarakat Indonesia yang mayoritas tidak mempunyai rekening bank.
Ada selisih yang jauh antara dua sektor ini dan sektor-sektor fintech lain di Indonesia, seperti pengelolaan uang dan keuangan personal (8%), layanan pembanding (7%), teknologi asuransi (6%), penggalangan dana (4%), sistem Point of Sales (3%), cryptocurrency and blockchain (2%), serta sistem asuransi (1%).
Delapan dari empat belas startup fintech dengan pendanaan terbesar di Indonesia pada tahun 2018, beroperasi di sektor pinjaman. Salah satunya adalah Moka, sebuah startup Point of Sale Mobile yang juga mempunyai layanan pembayaran (berkat kemitraan dengan berbagai e-wallet) dan layanan pinjaman (menggunakan data dari POS untuk pengajuan pinjaman UKM). Pada bulan September 2018, Moka telah mendapatkan pendanaan Seri C sebesar US$24 juta. EV Growth, dana investasi untuk startup di tahap pertumbuhan (growth stage) dari East Ventures (yang juga memberikan pendanaan tahap awal kepada Moka pada tahun 2014), turut berpartisipasi dalam pendanaan tersebut.
Moka berniat untuk membantu para pemilik Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia untuk beroperasi dengan lebih baik di tengah perkembangan ekosistem e-wallet. “Ada banyak sekali e-wallet di Indonesia. Saat ini ada lebih dari sepuluh, dan mungkin akan menjadi 15 sampai 20 e-wallet dalam waktu beberapa bulan ke depan. Kami ingin menjadi platform yang bekerja sama dengan mereka semua,” ujar CEO dan co-founder Moka, Haryanto Tanjo, ketika mengumumkan pendanaan mereka di bulan September yang lalu.
Startup Fintech dengan model bisnis unik
Startup pinjaman lain yang juga cukup kuat adalah Cermati, yang pada bulan September 2018 lalu mendapat pendanaan Seri B dari keluarga Hartono. Cermati adalah situs pembanding produk finansial dengan lebih dari lima juta pengunjung bulanan. Mereka menggunakan platform tersebut untuk membandingkan dan melakukan pendaftaran kartu kredit, asuransi, dan pinjaman. Cermati berencana untuk menggunakan dana investasi yang baru mereka terima untuk berkembang ke sektor asuransi umum dan pinjaman mikro.
Seperti Moka dan para startup fintech lainnya, Cermati juga mempunyai misi sosial di balik bisnisnya. Pada tahun 2015 silam, co-founder Cermati Oby Sumampouw menyatakan bahwa ia kembali ke Indonesia untuk membangun negara ini. “Keuangan merupakan salah satu sektor yang bisa memberikan pengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan dan masalah-masalah sosial apabila dibantu dengan IT,” ujarnya. “Visi kami adalah untuk mengedukasi masyarakat dalam mengambil keputusan finansial yang lebih baik.”
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengenai Cicil, sebuah platform pinjaman untuk para mahasiswa di Indonesia. Mereka telah mendapat pendanaan Seri A dari East Ventures pada bulan Agustus 2018 yang lalu.
“Cicil bukan sekadar perusahaan pinjaman biasa. Akses ke pendidikan bisa meningkatkan dan memperbaiki standar hidup seseorang. Sayangnya, pendidikan masih cukup mahal di Indonesia. Cicil mengisi celah tersebut dengan memberikan pinjaman bagi para mahasiswa untuk membayar uang kuliah serta membeli perangkat penunjang pendidikan seperti laptop. Hal ini bisa membantu para mahasiswa tersebut untuk maju, sejalan dengan misi pemerintah untuk menjadi Energi di Asia.”
Selain nama-nama di atas, juga ada beberapa startup FinTech lain, seperti Kudo yang didirikan Albert Lucius dan Agung Nugroho,
Masa depan startup fintech
Gelombang perkembangan startup fintech ini akan terus menjadi pusat perhatian di ekosistem startup Indonesia. OJK berniat untuk meningkatkan kepercayaan investor kepada startup fintech di Indonesia, khususnya yang menghadirkan layanan pinjaman. Selain itu, sebenarnya masih ada ruang pengembangan di sektor e-payment dengan memanfaatkan QR Code yang dipelopori oleh para pemain asal Cina seperti Alipay dan WeChat Pay.
Komunitas investor juga menunjukkan minat yang terus tumbuh kepada startup fintech yang beragam. Pada bulan Mei 2019, aplikasi jual beli saham Stockbit berhasil mendapatkan pendanaan Seri A dari East Ventures. Mereka kini merupakan aplikasi investasi dengan rating tertinggi di iOS dan Google Play.
Kesimpulannya, masa depan fintech di Indonesia akan sangat cerah. Seiring dengan berkembangnya ekosistem fintech di negara ini, akan ada konsolidasi antara startup fintech dan institusi keuangan tradisional. Hal ini didorong oleh penetrasi pengguna yang besar, perluasan pangsa pasar, dan investasi dari perusahaan modal ventura.