UMKM di Bali Bertahan di Tengah Pandemi Berkat Digitalisasi
Mei 4, 2021
Sebagai daerah yang bertumpu kepada industri pariwisata, Bali adalah salah satu provinsi yang terhantam paling keras oleh dampak pandemi Covid-19. Namun, pukulan tersebut justru mendorong lompatan digital di Pulau Dewata yang membuat Bali mampu mendobrak dominasi provinsi di pulau Jawa dalam peringkat East Ventures Digital Competitiveness Index 2021 (EV-DCI 2021).
Laporan East Ventures Digital Competitiveness Index 2021 menunjukkan Bali berada di peringkat ke-4 dalam hal daya saing digital. Bali juga merupakan provinsi dengan peningkatan skor daya saing tertinggi dibandingkan 2020, naik 7,1 poin.
Hal utama yang menempatkan posisi Bali sangat tinggi dalam hal daya saing digital adalah kesiapan infrastruktur. Infrastruktur di Bali memiliki skor tertinggi kedua di level nasional, yaitu sebesar 82,42, hanya kalah dari DKI Jakarta.
Selain itu, Bali juga mendapatkan skor tinggi dalam hal penggunaan perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) yaitu 78,1 yang menempatkan Bali di peringkat 3 secara nasional.
Namun, faktor utama yang mengangkat peringkat Bali dalam indeks daya saing digital bukan kedua pilar di atas. Peringkat Bali dalam hal infrastruktur dan penggunaan TIK, tidak berubah dari tahun lalu.
Lonjakan terbesar terjadi pada pilar Kewirausahaaan dan Produktivitas, yang antara lain mengukur tingkat penggunaan internet dalam pekerjaan dan tingkat transaksi elektronik. Skor pilar tersebut melesat dari 14,41 pada 2020 menjadi 29,36 pada 2021. Berdasarkan perubahan skor ini, dalam setahun, ada transformasi besar-besaran dalam aktivitas penjualan online di Bali.
Desakan pandemi
Setelah kurang lebih 3 tahun menjajakan kerajinan anyaman (macrame) produksinya secara door-to-door dan di pameran, pemilik Dewa Collection Bali, Dewanti Amalia Artasari siap untuk membuka toko sendiri. Amalia menyewa sebuah gerai di Seminyak, menyasar ratusan turis mancanegara yang berlalu-lalang setiap hari.
Butik Dewa Collection Bali dibuka pada Januari 2020, sekitar 2 bulan sebelum pandemi Covid-19 memukul industri pariwisata di Bali. “Jualan door-door itu lelah, harganya juga murah banget, makanya saya buka toko. Tapi Maret itu sudah mulai pandemi. Saya sudah pusing sekali, baru buka toko, tiba-tiba ada Corona,” kata Amalia.
Amalia akhirnya beralih ke gerai miliknya di Tokopedia. Amalia tidak asing dengan berjualan online. Saat mulai berjualan produk kerajinan, lokapasar daring (online marketplace) adalah sasaran pasar pertama Amalia. Dia memotret produk-produk yang ditemukannya di toko-toko di Bali dan memajangnya di gerai online. “Itu sekadarnya saja, pasang-pasang gambar. Setelah 1 bulan tidak ada penjualan, saya beralih ke offline. Setelah pandemi, saya push lagi di marketplace,” kata Amalia.
Di tengah pandemi, Amalia memfokuskan seluruh perhatiannya ke toko online. Dia memperbarui dan melengkapi foto-foto produk Dewa Collection, memperbaiki deskripsi material dan desain produk, serta menyediakan lebih banyak waktu untuk melayani pertanyaan-pertanyaan pelanggan.
Upaya Amalia membuahkan hasil. Dari rata-rata 10 order tiap bulan dari hasil berjualan offline, selama pandemi toko online Amalia paling tidak menerima 10 order setiap hari dengan omzet bulanan mencapai belasan juta.
Bagi pelaku usaha dengan skala yang lebih besar dari Amalia, pukulan pandemi tidak kalah beratnya. Penjualan Bali Alus, produsen produk kosmetik dan perawatan tubuh berbasis budaya (heritage) terdampak langsung oleh sepinya turis. Salah satu bisnis terbesar Bali Alus adalah memasok produk mereka sebagai white label ke hotel dan spa di Bali. Tanpa pengunjung, hotel dan spa berhenti membeli produk Bali Alus.
Pendiri Bali Alus, Ni Kadek Eka Citrawati, mengatakan penurunan penjualan di pasar white label dan toko offline, membuatnya memutuskan untuk konsentrasi menggenjot penjualan di lokapasar daring.
Bali Alus, menurut Citra, sebetulnya sudah 7 tahun hadir di Tokopedia. Namun, kesibukan mengelola bisnis offline membuatnya tidak terlalu memperhatikan toko online Bali Alus.
Berhadapan dengan dampak pandemi, Citra memfokuskan lebih banyak sumber daya ke pasar online termasuk dengan menyediakan layanan pelanggan khusus pembeli online. Selain itu, dia melengkapi jumlah produk Bali Alus yang tersedia secara online. Dari 600 jenis stock keeping unit (SKU) yang diproduksi oleh Bali Alus, kini 400 jenis telah tersedia di Tokopedia.
“Jika kami tidak fokus di marketplace, saya rasa penjualan akan sangat terpuruk. Sekarang penjualan kami sudah 3x dari sebelum pandemi,” kata Citra. Selain itu, kanal daring kini telah menjadi tumpuan utama Bali Alus, berkontribusi atas 70% dari total penjualan dari sebelumnya hanya 30%.
UMKM Bali menjemput pasar
Dewa Collection dan Bali Alus hanya sebagian dari ribuan UMKM di Bali yang memutuskan untuk fokus di lokapasar daring akibat desakan pandemi. Menurut Direktur Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Tokopedia Astri Wahyuni, platform digital membuat UMKM di Bali bisa mempertahankan hingga menumbuhkan bisnisnya. Bahkan, Bali adalah salah satu provinsi dengan lonjakan jumlah pelaku usaha tertinggi di Tokopedia selama pandemi.
Berdasarkan data internal Tokopedia, per Februari 2021, ada lebih dari 10 juta penjual yang terdaftar di Tokopedia atau melonjak 2,8 juta dari 7,2 juta penjual per Januari 2020. Riset LPEM FEB UI menunjukkan jumlah pelaku usaha di Tokopedia yang berasal dari Provinsi Bali naik 66,2% selama 2020, paling tinggi secara nasional, diikuti oleh DI Yogyakarta (42,2%) dan DKI Jakarta (28,3%).
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho mengatakan bahwa jumlah pedagang online di Bali melonjak karena, sebelum pandemi, masih sedikit UMKM di Bali yang hadir di pasar online.
Trisno menjelaskan bahwa setiap tahun belasan juta turis datang ke Bali siap menghabiskan dolar dan rupiah untuk pengalaman berlibur dan membeli cinderamata untuk dibawa pulang.
“Mereka ke Bali, datang ke butik-butik di Seminyak, di Canggu, pegang barang, lalu beli pakai cash. Lebih dari 50 tahun, orangnya, pasarnya yang datang. Jadi bisa dipahami kenapa mereka [UMKM] sudah nyaman,” katanya.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali menyatakan jumlah turis asing yang berkunjung ke Bali anjlok dari 6,3 juta pada 2019 menjadi hanya 1,1 juta pada 2020, sedangkan wisatawan domestik merosot dari 10,5 juta menjadi 4,6 juta pada periode yang sama.
Perpindahan ke pasar online, lanjut Trisno, diikuti juga dengan antusiasme UMKM dan warga Bali untuk beralih ke sistem pembayaran digital. Setelah setahun sebelumnya kesulitan mengajak pedagang di Bali mengadopsi QRIS, adopsi sistem pembayaran berbasis kode QR tersebut melesat sepanjang 2020.
“[Selama pandemi] jika hanya jualan fisik, terima tunai, tidak ada tamu yang datang. [Menggunakan QRIS] Anda bisa berjualan tanpa tatap muka. Sekarang mereka sudah merasakan, omzetnya tambah besar. Saya raya tidak akan mereka meninggalkan lagi dunia teknologi,” kata Trisno.
Dampaknya, Per 1 April 2021, jumlah merchant yang sudah menerapkan digitalisasi pembayaran berbasis QRIS di Provinsi Bali tercatat sebanyak 203.095 merchant, atau meningkat 697% bila dibandingkan dengan jumlah merchant pada akhir tahun 2019 (ytd). Provinsi Bali berada di posisi ke-7 dengan jumlah merchant QRIS terbanyak dari total 34 Provinsi di seluruh Indonesia. Ekspansi jumlah merchant tersebut juga diiringi dengan peningkatan volume dan nominal transaksi QRIS yang tercatat lebih dari 150 ribu transaksi dengan nominal mencapai Rp 16,87 miliar hanya dalam periode Januari hingga Februari 2021.
Baru permulaan
Trisno yakin bahwa adopsi QRIS hanya sebuah permulaan. Setelah paham dan nyaman menggunakan sistem pembayaran digital, konsumen dan UMKM di Bali akan tertarik menggunakan produk teknologi lain seperti mobile banking atau produk-produk teknologi finansial.
Setelah hampir setahun fokus mengelola toko online Bali Alus, Citra juga enggan beralih dari teknologi. Dia merasakan sendiri dampak efisiensi dari berbagai fitur yang tersedia di Tokopedia dan e-commerce lain dalam hal pengelolaan stok, pemetaan penjualan, dan pencatatan finansial.
“Sekarang kami jadi tahu produk apa yang diminati konsumen apa, di provinsi mana. Enggak akan seperti dulu lagi karena kini semua lebih clear. Karena online kami jadi tahu lebih banyak,” kata Citra.
Amalia ragu apakah rencananya membuka butik Dewa Collection masih akan diteruskan setelah masa pandemi usai. “Saya sekarang pikir-pikir lagi untuk membuka toko. Harus kontrak toko, tapi penghasilannya nanti sama saja.”
Menurut David Audy, Operating Partner of East Ventures, ekonomi digital Bali akan terus bertumbuh pesat dengan adanya infrastruktur yang semakin baik, kebangkitan kewirausahaan digital, dan peningkatan produktivitas yang dibantu teknologi, serta dukungan berkelanjutan dari Pemerintah.
“Mereka yang bisa memanfaatkan teknologi akan mampu untuk mengembangkan bisnisnya lebih pesat dan mendapatkan keuntungan ditengah Pandemi, seperti yang terjadi di Bali. Peningkatan daya saing digital Bali seperti yang dilaporkan oleh EV-DCI 2021, bukan hanya dikarenakan potensi besar Bali, namun juga karena adopsi digital yang semakin tinggi. Terlebih lagi, regulasi yang mendukung dari Pemda Bali dan program Implementasi QRIS yang sukses oleh Bank Indonesia, juga telah berkontribusi sangat signifikan,” kata David.