Indonesia’s strategy to decarbonize its way into a prosperous green economy
East Ventures

Share

10 September 2024

Insights

Strategi dekarbonisasi dalam mewujudkan ekonomi hijau yang berkelanjutan di Indonesia

Perubahan iklim telah menjadi hal besar yang memerlukan perhatian dan komitmen internasional, terutama dengan adanya cuaca ekstrem seperti musim kering yang panjang, gelombang panas, hujan lebat, banjir, dan tanah longsor yang terjadi di seluruh dunia. 

Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tidak luput dari dampak ini. Kenaikan permukaan laut juga mengancam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dimana hal tersebut berakibat pada kualitas tangkapan ikan, hasil pertanian, dan sumber daya air.

Salah satu komitmen global untuk mengatasi masalah ini adalah The Paris Agreement yang telah disetujui oleh 198 negara. Perjanjian ini menekankan pentingnya dekarbonisasi, yaitu upaya dalam mengurangi atau menghilangkan emisi karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca (GRK) lainnya dari atmosfer.

Indonesia saat ini berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emissions) pada tahun 2060. Namun, apakah ambisi ini realistis mengingat 86% kebutuhan energi Indonesia yang masih bergantung pada bahan bakar fosil?

“Sebagian besar penggunaan bahan bakar fosil diantaranya adalah batubara untuk listrik, minyak untuk transportasi, dan batubara untuk industri. Masing-masing membutuhkan penanganan yang berbeda,” ungkap Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia.

Rachmat menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia sedang melakukan berbagai upaya dekarbonisasi, termasuk membangun rantai pasokan kendaraan listrik (electric vehicle), mempromosikan energi hijau melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) oleh PLN, dan lainnya.

Dalam sesi “Indonesia’s Decarbonization Journey” di East Ventures Summit 2024, Rachmat Kaimuddin bersama Cyril Noerhadi, Supervisory Board Independent Member, Indonesia Investment Authority (INA) dan Avina Sugiarto, Partner East Ventures yang menjadi moderator dalam sesi tersebut, melakukan diskusi mengenai upaya strategis Indonesia dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Dalam hal ini, meskipun aspirasi dan peluangnya besar, tantangan utamanya adalah bagaimana kita merealisasikan komitmen besar ini?

Jawabannya terletak pada pendekatan transisi energi yang seimbang yang mendukung pertumbuhan ekonomi menuju ekonomi hijau yang rendah karbon, efisien dalam sumber daya, dan inklusif secara sosial. Dalam ekonomi hijau, investasi diarahkan pada kegiatan, infrastruktur, dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon, efisiensi energi, dan pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati.

Peran investor seperti East Ventures sangat penting dalam merealisasikan visi ini. Dimana saat ini beberapa sektor yang banyak menjadi sorotan diantaranya promosi energi terbarukan melalui mobilitas listrik, pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, pengolahan sampah menjadi energi, dan lainnya.

Disruptor membawa perubahan nyata di industri

Indonesia memiliki lebih dari 130 juta pengendara sepeda motor, namun hanya sekitar 150 ribu yang sudah menggunakan kendaraan listrik roda dua (EV2W). Meskipun penjualan EV2W di Indonesia meningkat pesat sebesar 260% tahun lalu, penetrasi pasar masih rendah dan tantangan pada kualitas produk serta ekspektasi konsumen lokal.

Raditya “Dito” Wibowo, Co-Founder dan CEO MAKA Motors, startup kendaraan listrik yang berfokus pada pengembangan sepeda motor listrik, menilai bahwa dalam transisi ke EV2W, konsumen tidak selalu memprioritaskan faktor keberlanjutan. “Mereka lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor seperti biaya, kinerja, dan keandalan,” jelasnya.

Bagi masyarakat Indonesia, sepeda motor mereka mungkin adalah aset paling mahal yang dimiliki. Mereka sangat teliti mengenai spesifikasi motor tersebut, dan standar yang ditetapkan sangat tinggi.

MAKA Motors memastikan bahwa produknya memiliki “100% kualitas tinggi” sebelum diluncurkan secara resmi ke publik tahun ini, kata Dito pada East Ventures Summit 2024 dalam Breakout Session: “MAKA Motors: Revolusi kendaraan listrik di Indonesia.” Simak video lengkapnya di bawah ini:

MAKA Motors menargetkan pengemudi layanan on-demand seperti Gojek dan Grab, karena mereka adalah pengguna aktif terbesar di jalan raya selain konsumen ritel.

Selain mobilitas listrik, transisi ke energi terbarukan juga mencakup biomassa, tenaga air, energi surya, dan lainnya, yang bahkan dapat melibatkan bisnis konvensional.

Di Indonesia, energi surya seharusnya menjadi solusi yang ideal, namun 61% listrik yang dihasilkan masih berasal dari batubara. Sebagai perbandingan, listrik dari batubara mencapai 189.683 GWh pada 2021, sedangkan dari panel surya hanya 192 GWh.

Meyakinkan pemerintah bahwa energi terbarukan lebih murah daripada batubara saat ini mungkin menjadi tantangan tersendiri. Eka Himawan, Managing Director Xurya Daya Indonesia (Xurya), mengungkapkan pandangan serupa dengan Dito, bahwa masyarakat cenderung mengutamakan manfaat ekonomi dibandingkan dengan keberlanjutan lingkungan.

“Ketika ada banyak perusahaan-perusahaan besar dan ternama mulai beralih ke energi surya, diharapkan pemerintah akan mulai mempertanyakan, ‘Apakah mereka menggunakan energi surya karena peduli pada lingkungan?’ Mungkin saja. Namun yang lebih penting, itu juga karena lebih murah,” jelas Eka.

Untuk menjawab hal tersebut, Xurya hadir dengan inovasi model bisnis tanpa investasi diawal, dimana klien bisa mendapatkan listrik dengan harga yang lebih rendah dibandingkan PLN. Perusahaan ini juga memiliki platform yang memungkinkan pemetaan area atap pelanggan cukup dalam lima menit saja, dimana hal tersebut mempercepat proses pengajuan proposal kepada calon klien.

“Tanpa kekuatan teknologi yang dapat membantu kami dalam mempelajari konsumsi dan produksi listrik, akan sulit untuk mengelola lebih dari 200 lokasi instalasi. Hal ini perlu diperluas, dan disinilah peran teknologi sangat dibutuhkan.” ujar Eka dalam sesi Innovating for Tomorrow – Indonesia’s Role in the Green Economy” pada East Ventures Summit 2024.

Dalam panel tersebut hadir juga dua founders startup teknologi hijau lainnya yaitu Ernest Layman, CEO dan Co-Founder Rekosistem, serta Sudono Salim, Co-Founder dan Chief Growth Officer Jejak.in, yang masing-masing fokus pada manajemen sampah dan penyeimbangan karbon.

Rekosistem mendigitalisasi ekosistem sampah di Indonesia, dari pengumpulan hingga distribusi sampah ke tempat daur ulang. Indonesia sebagai negara dengan populasi keempat terbesar di dunia, menghasilkan banyak sampah dari ekonomi berbasis konsumsi. “Peran Rekosistem adalah membantu pengumpul, pengelola, dan pemerintah daerah untuk mengurangi dan memanfaatkan sampah sebagai sumber daya yang berharga.” jelas Ernest.

“Saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia masih menerapkan model ekonomi linear, di mana 90% sampah berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Peran Rekosistem adalah membantu pengumpul sampah, agregator, pemilah, dan pemerintah daerah untuk mengurangi serta memanfaatkan sampah sebagai sumber daya yang bernilai,” ungkap Ernest.

Jejak.in beroperasi dengan model B2B dan B2G, dengan klien yang meliputi kota-kota atau kawasan perumahan, dan pengolahan sampah di Indonesia dan negara sekitar.

Sementara itu, Jejak.in menyediakan platform teknologi untuk membantu perusahaan menghitung jejak karbon mereka dan menyeimbangkannya. Jejak.in menawarkan tiga produk, diantaranya akuntansi karbon, pemantauan digital, pelaporan dan verifikasi (MRV), serta pasar offset karbon.

Sudono menambahkan, “Kami memposisikan diri sebagai model solusi terpadu di mana kami mengembangkan dan menawarkan tiga produk — akuntansi karbon, pemantauan digital, pelaporan dan verifikasi (MRV), serta pasar karbon offset — untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Itulah diferensiasi utama kami.”

Pendekatan yang seimbang menuju ekonomi hijau

Meskipun krisis iklim global dipicu oleh berbagai sektor, satu hal yang tak kalah penting untuk menjadi perhatian adalah keterlibatan para investor. Perjalanan dekarbonisasi Indonesia mungkin akan menghadapi banyak tantangan, namun pemerintah telah aktif mendorong investasi di sektor ini.

“[Para investor] tidak hanya berfokus pada solusi berbasis teknologi, tetapi juga solusi berbasis alam, bahkan pengolahan sampah menjadi energi. Dari perspektif investor, peluang itu ada, namun penting untuk diingat bahwa setiap peluang memiliki risikonya. Pahami toleransi risiko anda, dimana risiko tersebut sangat berkaitan dengan pengetahuan,” ujar Cyril dalam sesi tersebut. 

East Ventures bangga telah menjadi pendukung beberapa perusahaan teknologi hijau pionir di Indonesia, yang berperan besar dalam dekarbonisasi. Seperti pepatah “banyak jalan menuju Roma,” ada banyak cara bagi perusahaan untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan nasional ini. East Ventures juga bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) serta World Research Institute Indonesia (WRI) dalam meluncurkan ECOVISEA, kalkulator emisi GRK berbasis web yang gratis, yang membantu perusahaan menghitung dan mengukur dampak lingkungan mereka.

Apabila anda adalah seorang pendiri startup di bidang climate tech, kirim pitch mu kesini.