Preferensi Investasi East Ventures di Masa Sulit dan Ancaman Resesi
July 11, 2022
Krisis pendanaan (funding winter) sedang terjadi. Kabar PHK dan permasalahan lainnya di berbagai startup kerap bermunculan. Dalam seri tanya-jawab kali ini, kami berbicara dengan para investor di Asia Tenggara untuk mencari tahu peluang yang mereka lihat, pemikirannya, dan area investasi yang mereka sasar dalam beberapa bulan ke depan.
Ketika dunia mulai merasakan dampak resesi, perekonomian Indonesia masih tampak adem ayem. Tahun ini, Produk Domestik Bruto Indonesia diperkirakan tumbuh sebesar 5 persen. Perekonomian Indonesia kembali menggeliat pasca dilonggarkannya pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19. Hal ini membuat permintaan konsumen meningkat.
Managing Partner East Ventures Roderick Purwana berkata kepada Tech in Asia, hal ini berdampak pada terjadinya peningkatan bisnis beberapa sektor seperti pariwisata, kuliner, dan consumer commerce. Meski begitu, ia masih mengantisipasi adanya perlambatan. “Laju [investasi] tak akan meningkat. Mungkin akan melambat.”
Namun ada hikmah di balik kondisi tersebut. Roderick melihat beberapa pendanaan dengan performa terbaik muncul di masa krisis, karena investor bisa mendapat kesepakatan investasi terbaik saat valuasi lebih masuk akal.
Berikut wawancara kami dengan Roderick mengenai rencana East Ventures pada masa resesi, serta beberapa saran darinya bagi para founder:
Sektor startup apa yang akan/tidak terdampak perlambatan ekonomi saat ini?
Sektor pariwisata kini sedikit lebih menguntungkan daripada [sektor] lainnya. Pasca pelonggaran pembatasan perjalanan [akibat pandemi], masyarakat ingin [kembali] berwisata. Sayangnya, di sisi suplai, [infrastruktur pariwisata] belum bisa dibuka dengan kapasitas 100 persen.
Pada sektor lain, saya pikir aplikasi konsumen seperti e-commerce masih cenderung stabil. Mungkin akan ada penurunan waktu yang dihabiskan pengguna untuk aktivitas online seperti bermain gim dan melakukan live streaming. Untuk sektor lain seperti fintech dan logistik saya pikir tidak mengalami pertumbuhan, meskipun ekonomi [Indonesia] masih baik-baik saja.
Apakah perusahaan Anda akan meningkatkan/mengurangi rencana investasi saat ini?
East Ventures telah meneken 22 kesepakatan investasi pada kuartal I2022 (dibandingkan 10 pada kuartal I/2021). Jadi, akan cukup sulit untuk meningkatkan laju [kesepakatan investasi]. Tetapi kita melihat ada pergeseran ekspektasi pasar saat ini, khususnya di ranah publik. Kami melihat perubahan harga beberapa kesepakatan, khususnya yang melibatkan perusahaan-perusahaan di tahap lanjut. Mungkin ekspektasi terhadap valuasi juga akan bergeser dalam 6 – 12 bulan ke depan.
Kami pikir sekarang merupakan waktu yang pas untuk berinvestasi. Saat ini, laju [investasi] tak akan meningkat. Mungkin lajunya malah akan melambat. Jika ada perusahaan bagus di luar sana dengan valuasi yang masuk akal dan kami suka, kami masih akan berinvestasi di sana. Tetapi kami juga berhati-hati dan melihat pasarnya.
Menurut Anda, mengapa sektor edtech K12 akhir-akhir ini banyak melakukan PHK?
Tantangan bagi edtech masih tetap sama: monetisasi. Bagaimana caramu menarik orang untuk berlangganan dan membayar [layanan tersebut]? Pandemi mendorong percepatan adaptasi teknologi di sektor pendidikan – serupa dengan healthcare dalam beberapa aspek. Jika kamu melihat ke sektor telemedicine dan pengiriman farmasi, mereka juga memiliki masalah yang sama.
East Ventures baru-baru ini berinvestasi di dua startup kuliner. Apakah perusahaan Anda akan berinvestasi secara aktif pada sektor kuliner di tahun ini?
Kalau kamu melihat industri kuliner (F&B) secara keseluruhan, Indonesia masih tertinggal dibandingkan beberapa negara di Asia Tenggara. Di Thailand dan negara lainnya di Asia Tenggara, perusahaan-perusahaan kuliner telah mengalami pertumbuhan signifikan atau go public.
Industri kuliner Indonesia mungkin agak tertinggal dalam hal itu. Meski layanan pengiriman makanan di kota-kota besar sedang tumbuh, namun kebiasaan makan di luar rumah juga meningkat. banyak rumah makan di Indonesia dipenuhi pelanggan. Di beberapa restoran Ismaya Group, contohnya, jumlah [pelanggannya] saat ini lebih besar dibandingkan sebelum pandemi.
Di Asia Tenggara, sektor apa yang akan perusahaan Anda sasar tahun ini?
Komersial (commerce), fintech, logistik, dan e-commerce. Di sektor komersial umum, kami menargetkan lebih banyak vertikal seperti direct-to-consumer (D2C) dan social commerce. Sektor-sektor turunan dari perdagangan — ini akan menjadi target besar kami. Sektor fintech juga telah berkembang, dari yang mulanya hanya sekadar komparasi keuangan menjadi credit tech, wealthtech, insurtech, dan lain-lain. Di sektor logistik, [kami menargetkan] pemain di bidang pengiriman first-mile dan last-mile.
Kami mencoba melihat peluang investasi di edtech dan healthtech. Tapi, tantangan monetisasi tetap ada di sektor tersebut, jadi kami akan benar-benar berhati-hati. Kami sebenarnya telah berinvestasi di beberapa perusahaan healthtech, khususnya di tahap pendanaan seed untuk East Ventures. Kami juga mulai memantau sektor Web3 dan crypto. Dalam jangka pendek, sektor kecerdasan buatan (AI) dan turunannya tampak menarik. Kami belum melihat terlalu banyak perusahaan semacam itu. Sektor itu sangat menarik, dan kami sedang memantaunya.
Apakah Anda akan berinvestasi di startup B2B dan SaaS di Asia Tenggara?
Startup B2B memiliki model dan siklus bisnis yang berbeda. Jika kamu melihat SaaS secara khusus, tantangannya adalah bagaimana mengajak orang mengadopsi perangkat lunak (software) baru. Umumnya, kamu membeli perangkat lunak dari perusahaan besar. Karena itu, banyak orang tidak merasa terdorong membeli atau menggunakan perangkat lunak dari sebuah startup.
Meskipun kebiasaan tersebut sudah berganti, namun laju perubahannya lambat. Kami yakin dalam jangka menengah hingga panjang banyak orang akan beralih ke SaaS seperti terjadi di AS dan negara serta wilayah lain yang sudah matang.
Banyak perusahaan pembukuan yang menawarkan produk secara gratis ke UMKM guna mendorong adopsi. Apakah perlambatan ekonomi akan menjadi tantangan besar bagi perusahaan-perusahaan tersebut?
Pertanyaan bagi kami untuk startup pembukuan (bookkeeping) digital maupun model lainnya adalah: Apakah ini adalah fitur atau perusahaan sungguhan? Banyak perusahaan dibangun di atas sebuah fitur. Layanannya mungkin bagus, tetapi jika ada yang bisa melakukannya lebih cepat, lebih baik, atau lebih murah, apakah kamu bisa tetap bertahan?
Beberapa [startup] menganggap model bisnis ini sebagai sebuah fitur. Mereka mengeksekusinya dengan cepat, mendapat pendanaan dalam jumlah besar, dan kemudian memikirkan apa langkah selanjutnya.
Ini merupakan isu yang dihadapi banyak perusahaan penyedia produk pembukuan digital. Beberapa perusahaan mengatakan akan memulai usaha dengan menawarkan produk pembukuan digital, kemudian memperoleh data, menjadi perusahaan penilaian kredit, dan berubah menjadi bank digital. Rencana tersebut lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Keahlian yang perlu kamu punya agar bisa menjadi bank tidak sama jika dibandingkan dengan perusahaan perusahaan penyedia bookkeeping.
Apa nasihat yang akan Anda berikan kepada para founder yang saat ini menghadapi perlambatan ekonomi?
Tentunya berhati-hati. Kelola ekspektasi. Beberapa tahun belakangan ini, meskipun ada inflasi, banyak orang berekspektasi sangat tinggi untuk bisnisnya sejak awal. Kalau kamu memiliki suatu produk/jasa, jangan terlalu berlebihan mengoptimalkan hal-hal lain. Fokus di bisnis intimu. Kalau kamu punya layanan dan produk yang benar-benar bagus, fokus pada bisnis utama, dan kamu bisa membangun sesuatu dari nol, saya masih percaya bahwa kamu bisa tetap memperoleh pendanaan.
Wawancara ini telah disunting agar lebih jelas dan lugas.