Chickin Fortune 40 smart poultry bisnis peternakan
East Ventures

Share

23 April 2025

Insights

Bisnis peternakan cerdas bagi unggas ala Chickin

Sebagai mahasiswa saat kuliah di Universitas Brawijaya, Malang, ayam geprek menjadi makanan keseharian Tubagus Syailendra Wangsadisastra. Pada 2016, ia baru saja memulai belajar di Program Studi Hubungan Internasional. Ide bisnisnya muncul saat dipertemukan dengan Ashab Alkahfi di sebuah pelatihan kewirausahaan. Ashab, kala itu belajar di Fakultas Peternakan.

Keduanya mengamati bahwa ayam, baik daging maupun telurnya, merupakan sumber protein hewani utama bagi masyarakat. Bagaimana tidak, harga daging sapi masih terlalu mahal, sementara ikan relatif lebih sulit didistribusikan. Maka, ayam adalah pilihan yang paling potensial. 

“Kami sempat riset bahwa value chain industri peternakan ayam itu besar sekali. Bisa sampai Rp500 triliun dalam setahun,” kata Tubagus kepada Fortune Indonesia (16/1).

Di tengah kesibukan kuliah, kedua mahasiswa ini mempelajari bisnis peternakan, mulai dari siklus bertelur, penetasan, masa potong, hingga afkir-nya. Keduanya rela mondar-mandir dari Malang-Klaten dan sejumlah daerah peternakan ayam lainnya untuk keperluan riset. Temuan awalnya, peternakan tradisional berskala kecil kerap tak efisien. Terbatasnya akses dana hingga informasi bagi peternak membuat mereka sering merugi.

Berbekal pengalaman itu, keduanya mengikuti lomba inovasi peternakan hingga memenangkan hadiah uang tunai Rp3 juta. Dana itulah yang menjadi modal awal bagi keduanya untuk membuka kandang dan mengisinya dengan 500 ekor ayam pada 2017. Inilah awal-mula Chickin.

Toh, bisnis tak akan berjalan lancar tanpa sokongan modal. Masalahnya, tak banyak pemodal melirik potensi bisnis kedua orang itu. Hingga 2019, ketika startup agritech lain mulai mendapat kucuran modal, Chickin masih tetap tertinggal.

Tak mau berpangku tangan, keduanya tetap mematangkan rencana. Melihat peternakan yang dirintis masih berjalan, keduanya mendirikan PT Sinergi Ketahanan Pangan pada tahun 2020.

 “Kami dari awal bisnis selalu memiliki rencana, meski selalu dianggap underdog. Kami merasakan sekali menghimpun modal itu susah. Dulu saya fundraising ke investor ditolak sampai hampir 100 kali,” kata Tubagus.

Investasi pertama Chickin

Hingga pada September 2021, Chickin memenangkan uang pembinaan senilai Rp100 juta dari PT Pertamina (Persero). Dana itu digunakan untuk memperbesar pasar.

Seiring maraknya pemain UKM yang menawarkan “fried chicken” telah membuat suplier ayam potong kewalahan. Maklum, sebagian dari mereka yang bermodal terbatas telah tersapu oleh gelombang awal pandemi. “Awalnya kami tap-in ke pengguna layanan pesan antar, menjual kepada mereka. Dan alhamdulillah kami bisa mengambil pasar pemasok yang mati ini,” ujarnya.

Lalu, pada Juli 2022, Chickin kembali mendapat suntikan dana, kali ini dari East Ventures. Dana ini digunakan untuk memperkuat digitalisasi manajemen peternakan. Teknologi Internet of Things (IoT) bernama Chickin Smartfarm diberdayakan untuk efisiensi kandang. 

“Alat-alat itu digunakan untuk pengaturan iklim, suhu, kelembaban, oksigen, dan temperatur di dalam kandang. Sehingga, kematian ayamnya lebih sedikit dan membuat efisiensi ongkos pakan,” kata Tubagus.

Tubagus dan Ashab yang masing-masing berusia 26 dan 25, telah memiliki usaha yang terbilang stabil. Bisnis Chickin mampu mengawal proses peternakan dari hulu hingga hilir, dari akses permodalan produksi pakan, bibit ternak, sampai akses pasar.

Para peternak dapat mendaftarkan diri sebagai mitra dengan sistem bagi hasil. “Peternak punya kandang, nanti kami kasih bibit, pakan, sampai akses permodalannya. Jetika panen, kami pasti beli lagi hasil panennya. Ini bisnis end-to-end,” ujarnya.

Usaha Chickin semakin berkembang dengan menghasilkan Chickin Fresh yang memproduksi frozen food. Layanan ini menyediakan solusi kebutuhan suplai ayam potong yang diolah dengan proses terstandarisasi dan didistribusikan ke berbagai sasaran, dari pasar tradisional, hingga sejumlah rumah makan dan restoran. Sejumlah jenama yang telah bekerja sama dengan Chickin adalah Golden Lamian, Hisana Fried Chicken, d’BestO, hingga Dkriuk.

Bukan tanpa risiko

Adanya sejumlah mitra peternak yang menjual sebagian ayam hasil ternaknya ke pihak lain tentu merugikan perusahaan. Manajemen pun harus memperketat tata kelola kepada seluruh mitra.

Tubagus menyadari bahwa bisnis agritech rentan fraud lantaran tata kelola yang melibatkan banyak orang. Ia tidak ingin bisnisnya runtuh lantaran tangan-tangan kotor.

 “Sebagai industri yang heavy on operations, kami harus fokus dengan tata kelola. Banyak sekali potensi miss karena fraud. Bukan hanya dari customer, peternak, petani, tapi juga dari tim,” ujarnya.

Ia juga menyadari sentimen negatif tengah membayangi startup di sektor agritech. Menurutnya, fenomena itu terjadi akibat banyak hal. Ia mencontohkan, pendanaan terhadap petani dan peternak seharusnya juga disertai pembinaan serta pengawasan. Tanpa itu, rentan sekali terjadi penyelewengan modal usaha untuk membeli barang konsumtif.

Kini, Chickin menerapkan pola pendanaan dengan pendampingan langsung di tiap fasilitas peternakan, mulai dari Day-Old-Chicken (DOC), pakan, serta obat dan vaksin. Begitu pula rantai pasok dari peternakan ke fasilitas pengolahan hingga pembeli terus dipantau. 

“Kami membeli kembali hasil panen dari peternak dengan harga yang disepakati sebelumnya (pre-agreed price). Ini model bisnis yang terbukti,” kata Tubagus.

Dengan menjalankan model bisnis end-to-end, Tubagus mengaku perusahaannya telah mendulang profit sejak awal berdiri. Bisnis Chickin juga diklaimnya tak pernah mengenal istilah bakar uang.

Terbaru, Chickin juga telah mendapatkan suntikan pinjaman sebesar Rp250 miliar dari Bank DBS Indonesia. Dana itu diarahkan bagi para mitra peternak yang kekurangan modal usaha. Saat ini, Chickin telah mengelola 12.000 ekosistem kandang dan bermitra dengan 60.000 mitra peternak.

Chickin pun berencana mengakuisisi jenama ayam goreng guna melengkapi bisnisnya di sektor hilir. Chickin juga berharap dapat ambil bagian pada program Makan Bergizi Gratis (MBG).


Artikel asli telah diterbitkan di Fortune Indonesia pada tanggal 2 April 2025.