From Portfolios
GREENS, startup agritech pengusung sistem pertanian multidimensi
Cukup banyak tantangan yang dihadapi bidang pertanian di Indonesa. Di antaranya, iklim yang berubah-ubah sehingga hasil panen tidak optimal atau bahkan gagal. Lalu, jumlah petani yang semakin menurun. Data Pemerintah Indonesia menunjukkan, sebanyak 70% petani sudah berumur 65 tahun. Diperkirakan tahun depan dan seterusnya jumlah petani akan semakin berkurang.
Kondisi tersebut menjadi pendorong berdirinya startup agritech bernama GREENS pada 2018. GREENS didirikan oleh tiga sekawan, yaitu Andi Sie yang menjabat sebagai Chief Executive Officer GREENS; Geraldi Tjoa, Co-Founder & Chief Product Officer GREENS, dan Erwin Gunawan, Co-Founder & Chief Business Officer GREENS.
Mereka berhasil membangun teknologi Controlled Environment Agriculture (CEA) dan memiliki inovasi teknologi agrikultur berbentuk pod (GREENS pod). Inovasi ini mampu menciptakan sistem penanaman dalam ruangan yang terintegrasi dengan blockchain, artificial intelligence (AI), dan internet of things (IoT).
“Apa yang GREENS lakukan bukan sekadar startup atau perusahaan, akan tetapi movement. Pergerakan agar kita bisa hidup dengan baik. Di mana movement ini harus dilakukan bersama komunitas agar kedaulatan pangan bisa terjadi. Kami ingin solusi teknologi pertanian ini semakin bagus, semakin diketahui banyak orang,” Erwin Gunawan menjelaskan.
Erwin sebelumnya 22 tahun tinggal di Amerika Serikat, mulai dari bersekolah, bekerja sebagai profesional, hingga membuka usaha restoran di sana. Kemudian, dia berpikir untuk pulang ke Indonesia dengan membuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak untuk menemukan tujuan hidupnya.
“Saya kuliahnya Bachelor of Science di The Ohio State University dan saya punya sertifikasi blockchain,” katanya menginformasikan.
Setelah di Indonesia, dia mempelajari situasi dan kondisi di negeri ini terlebih dahulu. Dan, karena suka teknologi blockchain, akhirnya dia membuat software house. “Dari sana saya melihat permasalahan-permasalahan di agriculture,” ujar Erwin.
Ia pun mengutip sebuah hasil penelitian di dunia bahwa kalau cara pertanian masih seperti dahulu, menggunakan tanah dengan kondisi cuaca yang bagus, itu membutuhkan tiga planet. Sementara saat ini, populasi manusia semakin naik, lahan tanah 52% sudah rusak, dan air bersih hanya 3% di dunia.
“Oleh karena itu, teknologi yang mendorong agriculture merupakan masa depan kita semua. Saya pun akhirnya terpanggil untuk consen di sini,” ungkapnya.
Namun, butuh proses panjang untuk mendirikan GREENS. “Selama tiga tahun, kami hanya melakukan R&D. Ini 100% karya anak bangsa, teknologinya sudah dibuat, ada machine learning, AI, IOT untuk mempelajari environment yang paling optimal tanamannya tumbuh, mulai dari suhu, kelembaban, nutrisi, spektrum cahayanya seperti apa. Ini butuh dua tahun di mana ini baru memiliki 25 formula untuk menanam dengan baik,” Erwin memaparkan.
Blockchain digunakan sebagai transparansi dan traceability. Jadi, konsumen yang membeli makanan GREENS akan tahu informasi mengenai makanan tersebut berasal dari mana, ditanamnya kapan dan di mana, ditanam oleh siapa, sehingga konsumen paham asal usul makanan yang mereka makan.
GREENS juga menggunakan Non-Fungible Token (NFT). Sebelumnya, NFT adalah aset digital berbasis blockchain, di mana karya digital mulai dari foto, video, aset dalam game.
Nah, melalui teknologi ini, GREENS ingin membuat terobosan baru, yakni sebuah edible NFTalias NFT yang bisa dimakan. Adapun cara kerja edible NFT ini, yaitu seorang pengguna mengakses aplikasi GREENS secara digital di dunia virtual seperti metaverse. Lalu, GREENS akan menjadi perusahaan yang bergerak di bidang metafarmer.
Dijelaskan Erwin, pada 2-3 tahun awal GREENS berdiri, modal bisnisnya dari teman dan keluarga yang tergugah hatinya dan percaya pada bisnis GREENS. “Kami tidak mau fund raising hanya berdasarkan konsep yang bagus, namun ketika konsepnya dijalankan, gagal dan uang investor hilang. Jadi, ketika belum yakin, kami memakai uang sendiri terlebih dahulu,” katanya.
Namun, ketika teknologinya jadi, model bisnisnya matang, dan hasilnya baik, baru pihaknya melakukan fund raising sehingga bisa buka kantor di Plaza Indonesia, Jakarta. Saat ini, GREENS pun telah memperoleh pendanaan pre-seed. Erwin enggan mengungkapkan nominalnya. Putaran pendanaan ini dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari investor lain.
“Awalnya, kami hanya membuatnya di garasi. Saat ini, kami juga memiliki green house di daerah Kemanggisan, Jakarta. Di sana untuk melakukan pembibitan dan sebagainya,” ungkap Erwin. Saat ini anggota timnya ada 20 orang.
Lalu, apa saja yang ditanam GREENS? Saat ini, sudah ada 20-25 jenis tanaman. Untuk sayurannya, GREENS tidak menanam apa yang sudah ditanam petani, dan ini superfood, yaitu micro greens. Motivasinya, pertama, memberikan bahan pangan yang aman dan baik.
Setelah berhasil penanamannya, pihaknya melakukan tes laboratorium, dan hasilnya bagus: tidak ada bakteri, chemical, dan bahan berbahaya lainnya. Untuk medianya, membuat sendiri dan airnya merupakan air minum yang kemudian difilter hingga tiga kali.
Dengan teknologi ini, pihaknya bisa memotong hingga 50% waktu panen. Contohnya, stroberi biasanya dalam waktu 12 bulan baru berbuah, sedangkan di GREENS hanya dalam waktu 4,5 bulan sudah berbuah.
Apakah sebelumnya ada juga teknologi seperti ini? “Sistem pertanian multidimensi ini hanya kami di seluruh dunia,” ujarnya mengklaim. Dengan GREENS yang berhasil menciptakan teknologi ini, kontrol environment agriculture yang portable bisa digunakan di restoran dan di mana saja, otomatis bisa menciptakan multidimensi.
GREENS memiliki platform yang bisa dikoneksikan ke metaverse atau aplikasi dengan tujuan untuk komunikasi dan encourage generasi muda yang kebanyakan online, bisa main game dengan GREENS. Jadi mereka bisa bertani di metaverse atau di aplikasi, nantinya mereka bisa memanen hasilnya. Hasilnya pun bisa dijual dan kemudian bagi hasil ataupun diambil di gerai GREENS di Plaza Indonesia.
Bicara model bisnis, GREENS punya tiga. Pertama, konsepnya live salad station. Ini merupakan konsep baru multidimensi pertanian, seperti restoran dengan tanaman yang ditanam, dipanen, dan diracik di depan konsumennya.
Kedua, B2B, yaitu sewa ladang untuk restoran mereka. Jadi, teknologinya ini nanti ditaruh di resto mereka agar mereka bisa menanam dan menumbuhkan tanaman apa yang mereka pakai.
Selain resto, bisa juga digunakan oleh supermarket dan lainnya. “Saat ini, kami sudah bekerjasama dengan Ismaya dan beberapa perusahaan yang dalam tahap on going,” katanya.
Ketiga, konsep metavarmer. Ini konsep bagi hasil dengan menanam bersama dan bagi hasil dengan petaninya.
Dalam mengelola GREENS, Erwin menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan pertama, teknologinya harus dikembangkan terus. Tantangan kedua, awareness, bagaimana masyarakat bisa tahu bahwa cara menanam ini merupakan cara yang aman, baik, dan sustainable, menghasilkan tumbuh-tumbuhan yang bernutrisi tinggi.
Target tahun ini, “Menjadi solusi dengan visi besarnya: pertanian hiperlokal di mana-mana,” kata Erwin. Artinya, setiap daerah, mulai dari tingkat RT hingga RW memiliki pertanian masing-masing dan masyarakat bisa jadi petani bersama GREENS. “Kami bukan hanya perusahaan tetapi movement di bagian pangan sehingga kedaulatan pangan terjadi,” dia menegaskan kembali.
Nantinya, selain sayuran, GREENS juga akan menanam buah-buahan, umbi-umbian, hingga biji-bijian seperti beras. Untuk buah-buahan dan umbi-umbian, sedang dilakukan risetnya. Kalau keduanya berhasil, bisa berlanjut melakukan R&D ke biji-bijian.
Artikel asli telah diterbitkan di SWA, 1 Juli 2023.