Insights
Memahami gaya hidup kelas menengah: Segmen konsumen yang sedang berkembang pesat di Indonesia
Asia Tenggara, wilayah yang dihuni oleh hampir 700 juta orang, sedang dipersiapkan untuk pertumbuhan ekonomi digital yang pesat dalam beberapa tahun ke depan. Laporan e-Conomy SEA 2024 terbaru dari Google, Temasek, dan Bain & Company memproyeksikan peningkatan GMV sebesar 15% hingga US$263 miliar. Pertumbuhan ini juga didorong oleh meningkatnya konsumsi teknologi di kawasan ini, di mana semakin banyak konsumen kini beralih ke layanan digital.
Selain itu, demografi ini juga telah menyumbang hingga 70% dari ekspansi e-commerce, yang mengindikasikan adanya pergeseran signifikan dalam perilaku konsumen dari “first-time buyers,” atau konsumen yang baru pertama kali membeli suatu produk atau jasa, menjadi “repeat purchasers,” atau konsumen yang membeli produk atau jasa yang sama untuk menggantikan yang sebelumnya ia beli. Pergeseran ini semakin membentuk persaingan pasar konsumen Asia Tenggara, terutama karena industri ini didorong oleh perdagangan video (video commerce), yang menjadi arena yang semakin menarik bagi bisnis dan konsumen.
Khususnya di Indonesia, kelas menengah yang tinggal di daerah perkotaan (urban) semakin berkembang dan kian mempengaruhi lanskap konsumen. Studi menunjukkan bahwa kelas menengah perkotaan di Indonesia mencapai 20,5% dari populasi Indonesia yang berjumlah lebih dari 280 juta orang. Demografi ini sendiri mendorong hampir setengah dari total konsumsi Indonesia, menjadikannya kontributor yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Bahkan, demografi ini tersegmentasi ke dalam kota-kota tingkat 2 dan 3, yang menunjukkan perilaku yang berbeda dalam hal membuat keputusan pembelian. Apa yang dapat dilakukan perusahaan dan pemilik bisnis untuk menyasar segmen ini, dan strategi apa yang dapat diterapkan untuk tetap menjadi yang terdepan dalam tren yang terus berubah?
Dalam acara East Ventures Summit 2024 baru-baru ini, empat pemimpin perusahaan portofolio yang didukung oleh East Ventures duduk bersama dan berdiskusi mengenai lanskap konsumen di Indonesia yang sangat beragam: Alvin Arief, CEO dan Co-Founder UENA; Matthew Adrian, CMO Fore Coffee; Paulina Purnomowati, CMO TipTip; dan Chrisanti Indiana, CMO dan Co-Founder Sociolla. Dimoderatori oleh Elisa Suteja, Entrepreneur in Residence di East Ventures, panel ini menekankan pentingnya memahami karakteristik unik dari berbagai tingkatan kota di Indonesia, dengan menyoroti peluang yang ada di luar pusat-pusat kota besar seperti Jakarta.
Baca transkrip yang telah diedit dari diskusi panel di bawah ini untuk menggali lebih dalam perspektif mereka.
Elisa Suteja: Indonesia memiliki lebih dari 280 juta penduduk, namun, Indonesia bukan hanya Jakarta. Menurut laporan EV-DCI 2024, kota-kota tingkat satu meliputi wilayah Jabodetabek, Surabaya, Bandung, dan masih banyak lagi. Namun, di luar kota-kota tersebut, Indonesia juga memiliki peluang di kota-kota non-metropolitan yang lebih kecil seperti Medan, Makassar, dan Yogyakarta.
Hari ini, kami ingin menggali lebih dalam tentang perilaku konsumen, mengeksplorasi peluang, dan mendapatkan wawasan dari perusahaan-perusahaan terkemuka seperti TipTip, UENA, Fore Coffee, dan Sociolla.
Dimulai dengan UENA, yang melayani kelas menengah di Jabodetabek melalui makanan yang lezat dan terjangkau dengan pengalaman yang tak terlupakan. Menurut Anda, bagaimana seharusnya bisnis memposisikan diri mereka secara efektif untuk melayani pelanggan kelas menengah?
Alvin Arief: UENA menyajikan makanan sehari-hari yang terjangkau sebagai solusi harian untuk pasar massal Indonesia. Kami percaya bahwa melayani kelas menengah yang sedang berkembang hampir seperti “membidik target yang bergerak.” Hal yang paling penting adalah peka terhadap arah dan tingkat pergerakan tren. Di F&B sendiri, kami melihat ada dua tren. Pertama, makan di luar; yang kami yakini bahkan kelas menengah pun sudah melakukannya saat ini. Mereka mencari pengalaman yang lebih baik dan kualitas yang lebih baik. Kedua, pergeseran dari memasak di rumah menjadi membeli makanan di luar. Bagi kami di UENA, kami melihat tren kedua ini sangat menarik karena memiliki peluang yang sangat besar.
Satu hal yang mungkin tidak kita sadari adalah bahwa di Indonesia, rasio makanan yang dimakan di luar dibandingkan dengan makanan yang dimasak di rumah adalah yang paling rendah, yaitu hanya satu dari empat orang, atau sekitar 25%. Jadi kami percaya bahwa, seiring dengan meningkatnya jumlah masyarakat dan konsumen yang masuk ke dalam kelas menengah dan didukung oleh faktor-faktor lain seperti gaya hidup dengan pendapatan ganda dan tinggal di rumah yang lebih kecil, mereka akan semakin tertarik untuk membeli makanan di luar.
Hal ini juga yang menjadi dasar kami melakukan segmentasi menu untuk menjaring kedua pasar tersebut. Pertama adalah untuk makanan sehari-hari, yang lebih fungsional. Mereka peduli dengan nilai uang dan porsi. Namun, ada juga yang menginginkan gaya hidup yang lebih baik, di mana mereka menginginkan pengalaman yang lebih baik.
Elisa Suteja: Saya rasa di Fore Coffee, kami melihat perilaku konsumen tidak hanya di Jakarta, tapi juga di kota-kota tingkat dua dan tiga. Saya sangat tertarik untuk memahami dari sudut pandang Matthew. Bagaimana perilaku pelanggan kelas menengah dari satu kota ke kota lainnya? Apakah ada perbedaan yang jelas? Dan apa yang harus dilakukan untuk masuk ke pasar untuk memanfaatkan pelanggan ini?
Matthew Adrian: Kami memulai Fore Coffee pada tahun 2018, dimulai di Jakarta, diikuti oleh kota-kota besar lainnya seperti Medan dan Surabaya. Pada tahun 2022, kami hadir di 30 kota. Menurut saya, perjalanan ekspansi di tingkat dua dan tingkat tiga dimulai sejak saat itu. Kami membawa konsep “affordable premium” ke kota tingkat dua dan tiga. Kami memahami bahwa di Indonesia, orang minum kopi seperti air putih, terutama dengan meningkatnya jumlah peminum kopi dari generasi Z.
Ada lebih dari sepuluh ribu kedai kopi di Indonesia. Namun, tidak ada satupun yang menyediakan kopi berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, kami ingin mengisi celah tersebut dan menyediakan kopi berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau, yang kami sebut sebagai “affordable premium.” Saat ini, kami mengoperasikan lebih dari 210 gerai di 41 kota.
Ketika kami mulai berekspansi ke tingkat dua dan tiga, kami memahami bahwa kami memiliki tugas yang berat, tidak hanya untuk memperkenalkan kualitas kopi terbaik, tetapi juga untuk memperkenalkan budaya kopi yang baru. Kami tahu bahwa pelanggan menyukai nilai-nilai yang baik. Tidak hanya berfokus pada harga.
Dari apa yang kami telah amati, tingkat dua hampir mirip dengan tingkat satu, tetapi masalah dengan tingkat tiga adalah mereka memiliki sensitivitas harga yang lebih tinggi, menurut saya. Sebagai gambaran, harga kopi kami sangat konsisten. Keunikan dan pendekatan holistik kepada pelanggan kami sangat penting untuk membuat kopi kami menjadi salah satu brand kopi yang paling menguntungkan.
Lebih dari sekadar nilai, saya pikir penting juga untuk melokalkan brand approach, terutama ketika kami memasuki kota-kota tingkat dua dan tiga, di mana selalu ada perang harga.
Sebagai penyedia brand kopi yang berkelanjutan dan juga artisanal, kami sebenarnya lebih dari sekadar memberikan promosi setiap hari. Pahamilah bahwa kami memiliki banyak saluran: offline dan online, yang berarti kami juga memiliki aplikasi.
Elisa Suteja: Itu adalah transisi yang menarik untuk Paulina. Dengan TipTip sebagai produk digital, pada hari pertama, Anda sudah memanfaatkan pelanggan online dan offline. Yang menarik, menurut saya, setiap kali saya membuka aplikasi TipTip, selalu ada acara (event) di suatu tempat. Bagaimana Anda melihat wawasan tentang perbedaan utama dalam konsumsi digital di antara konsumen di berbagai tingkatan kota?
Paulina Purnomowati: Saya akan melakukan sedikit data-dumping, hanya untuk memberikan perspektif tentang betapa uniknya kota-kota tingkat dua dan tiga di Indonesia.
Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, bayangkan sekitar 70% dari populasi kita berada di tingkat dua dan tiga. Sementara itu, 70% mall di Indonesia berada di tingkat satu. Jadi ada kontras di sana. Kemudian, 80% orang Indonesia sudah terpapar internet. Akses internet menjadi lebih mudah bahkan bagi mereka yang berada di, katakanlah, tingkat empat.
Satu data terakhir: 75% orang Indonesia menghargai rasa kebersamaan, atau suka berada dalam sebuah komunitas, sementara standar global hanya sekitar 54%.
Yang ingin saya katakan adalah bahwa ada banyak permintaan di luar tingkat satu. Banyak pasar dengan sentuhan tinggi yang sudah memiliki internet, tetapi mereka berada di tingkat yang sangat kurang modern.
Untuk TipTip, kami adalah platform berbasis teknologi, dan kami tidak memiliki kehadiran ritel seperti Fore dan Sociolla. Apa yang kami lakukan sejak hari pertama adalah kami memiliki tim yang ditempatkan di kota-kota tingkat dua dan tiga.
Tidak harus berupa toko atau tim yang besar, tetapi sangat penting bagi Anda untuk memahami tingkat tiga. Sangat berbeda dengan di Jakarta atau bahkan Surabaya. Pengaruh dari teman sangat penting dibandingkan dengan hanya melihat iklan secara digital.
Untuk TipTip, kami sebenarnya memiliki tim, misalnya di Jawa Timur atau Jawa Barat, yang berkeliling dan menyebarkan informasi, lalu mengajari satu hingga sepuluh komunitas, yang pada akhirnya akan menyebarkan informasi tentang betapa mudahnya menggunakan TipTip untuk memonetisasi kegiatan di komunitas mereka.
Sebagai contoh, akan jauh lebih efektif jika teman Anda mengatakan hal-hal seperti, “Hei, saya telah menggunakan ini,” atau “Hei, saya pernah minum kopi dari Fore,” atau “Hei, saya membeli ini di Sociolla.” Hal ini sangat komunal dan sangat menyentuh di kota-kota tingkat dua dan tiga.
Elisa Suteja: Beralih ke Sociolla, Anda baru saja membuka toko di Kendari, ibu kota Sulawesi Selatan. Jika kita berkunjung ke sana, tidak banyak perusahaan ritel yang telah berekspansi ke Kendari. Jadi pertanyaan saya kepada Chrisanti adalah, apakah Anda sudah melihat hal yang lebih dari itu, dan bisakah Anda berbagi strategi ekspansi Sociolla?
Chrisanti Indiana: Sejak awal, Sociolla percaya bahwa pengalaman adalah kunci utama bagi pasar konsumen, terutama di industri kecantikan. Meskipun kami memulai sebagai platform e-commerce online, kami selalu percaya bahwa Anda tidak bisa hanya mengandalkan promosi yang agresif atau kehadiran digital untuk pertumbuhan yang berkelanjutan, tetapi Anda harus memiliki pengalaman yang nyata dengan konsumen.
Dengan pemikiran tersebut, kami meluncurkan toko omnichannel pertama kami pada Juli 2019, lima tahun yang lalu. Kami memiliki dua toko di tahun 2019, dan hari ini, kami memiliki 78 toko di seluruh Indonesia, tidak hanya di Jabodetabek, tetapi juga di kota-kota tingkat dua dan tiga.
Kami membuka lima toko bulan ini, dan sepertinya terlihat cepat sekali bagi kami untuk membuka toko baru, tetapi kami melakukannya dengan penuh percaya diri di setiap toko, di setiap kota, bahkan di kota tingkat dua dan tiga. Mengapa?
Kami telah berkecimpung di industri ini selama hampir sepuluh tahun, dan kami akan merayakan ulang tahun kami yang ke-10 tahun depan. Kami telah mengumpulkan data yang begitu banyak dari konsumen kecantikan Indonesia. Data ini unik karena kami memahami bahwa kami tidak hanya mengumpulkan profil konsumen biasa, seperti usia, lokasi, dan lainnya, tetapi kami juga mengumpulkan perilaku mereka, melihat preferensi mereka, dan melihat profil kecantikan mereka.
Kami tidak hanya mengetahui preferensi mereka atau apa yang mereka beli, tetapi kami juga dapat memprediksi, misalnya, konsumen seperti ini berada di daerah mana, preferensi kecantikan seperti apa yang mereka sukai, brand apa yang akan mereka sukai, jika mereka menyukai produk ini, produk seperti apa yang akan mereka beli selanjutnya, dan jika Anda memiliki masalah kulit seperti ini, apa yang dapat kami tawarkan kepada Anda?
Jadi kami benar-benar dapat mempersonalisasi dan menyesuaikan penawaran Sociolla secara online dan offline untuk pelanggan kami, yang menurut saya merupakan hal utama dalam dunia kecantikan: itulah keindahan dari kecantikan.
Segmentasinya unik; ini bukan tentang apakah Anda berada di kelas menengah atau kelas atas, tetapi tentang, katakanlah, seorang remaja di Jakarta yang mungkin baru saja mulai belajar tentang makeup, dan mungkin ada seseorang yang tinggal di Makassar di usia 40-an yang baru saja mulai memperluas pengetahuan tentang makeup.
Kita bisa melihat bahwa mereka sebenarnya melihat produk yang sama dan bisa saja berbelanja produk yang sama. Hal ini unik karena Anda tidak dapat benar-benar melihat segmentasi hanya berdasarkan status ekonomi dan lokasi; segmentasi ini lebih dalam dari itu, dan itulah cara kami melakukan ekspansi.
Gerai-gerai di kota-kota kecil seperti Palu atau Kendari memiliki format yang unik: kami membangun gerai-gerai kami di lobby mall. Masalahnya, setiap kali kami membuka toko, akan selalu ada antrean-bukan semata-mata karena “ini Sociolla,” tetapi karena kami memberikan berbagai macam produk yang mereka inginkan.
Saat tim mengunjungi toko di Kendari, misalnya, toko ini sangat ramai! Beberapa dari sepuluh brand terlaris di toko ini sangat spesifik, seperti brand Korea premium yang tidak kami duga akan terjual sebanyak itu di Kendari.
Fakta menarik lain: Pada hari pembukaannya, toko Kendari dan Palu menjadi toko dengan penjualan internal tertinggi kami di seluruh Indonesia, bahkan dibandingkan dengan toko-toko di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Daya beli pasti ada; ini hanya masalah bagaimana Anda dapat benar-benar memenuhinya.
Elisa Suteja: Kami berbicara tentang ekspansi offline. Untuk F&B, lokasi adalah salah satu faktor terpenting, dan untuk UENA sendiri, ada pergeseran dalam strategi ekspansi offline Anda. Dari sudut pandang Anda, apa karakteristik yang paling penting dari sebuah lokasi, dan bagaimana hal ini bertransformasi selama bertahun-tahun?
Alvin Arief: Kami menyajikan makanan sehari-hari untuk penggunaan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dengan pemikiran tersebut, target utama kami sebenarnya berada sedekat mungkin dengan pelanggan.
Itulah mengapa kami tidak berada di mall saat ini. Bagi target pasar kami, bahkan membayar parkir saja merupakan sesuatu yang mewah. Lokasi yang kami pilih bahkan tidak berada di jalan utama. Kami benar-benar mencari area di mana lingkungan sekitar masih hidup-biasanya, di sekitar area yang dekat dengan pasar, apotek, dll. Kami memilih lokasi-lokasi ini karena kami percaya bahwa kami dapat memasuki gaya hidup pelanggan kami yang sebenarnya.
Seperti yang saya sebutkan tadi, kelas menengah menginginkan pengalaman yang lebih baik. Kami percaya bahwa lokasi kami menjadi komunitas sehari-hari bagi daerah setempat dan masyarakat sekitar.
Elisa Suteja: Saya ingin menyinggung sedikit dari bagian pertama Anda, Matthew. Menurut Anda, apa yang menjadi pendorong keputusan utama bagi pelanggan kelas menengah? Nilai seperti apa yang harus kita, sebagai bisnis, berikan kepada pelanggan kelas menengah?
Matthew Adrian: Mari kita bicara tentang sensitivitas harga, terutama di kota-kota tingkat dua dan tiga. Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Chrisanti. Jika Sociolla di Kendari menunjukkan kinerja yang baik, salah satu toko terbesar yang kami operasikan sebenarnya berada di Manado, bukan di Jakarta. Ini adalah salah satu flagship terbesar dengan kinerja tertinggi hingga saat ini.
Jadi, ketika berbicara tentang nilai, harga tidak bisa menjadi satu-satunya faktor. Kami melakukan penelitian triwulanan, yang kami sebut sebagai brand health tracking. Setiap kuartal, kami mengidentifikasi tiga pendorong utama Fore Coffee: nilai, kualitas, dan harga.
Yang mengejutkan, di kota-kota tingkat dua dan tiga, basket size usaha dan jumlah transaksi sebenarnya lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat satu. Saya juga tidak menyangka bahwa kinerjanya akan sebagus ini, tapi menurut saya toko-toko ini benar-benar berusaha keras untuk membuat produk yang bagus. Hal ini bisa berkelanjutan karena meskipun penetrasi digital belum sampai ke sana, mereka memberikan kontribusi yang signifikan untuk toko offline kami.
Paulina juga menyebutkan bahwa masyarakat di daerah-daerah ini lebih suka berkelompok daripada individualis. Itulah mengapa basket size Fore Coffee cukup besar di kota-kota tingkat dua dan tiga.
Elisa Suteja: Paulina, mengenai perilaku ini, bisakah Anda memberikan penjelasan singkat mengenai bagaimana suatu brand dapat memanfaatkannya?
Paulina Purnomowati: Pada dasarnya, orang-orang di kota tingkat dua dan tiga suka berkelompok berdasarkan minat yang sama dan aktivitas yang sama. Apa yang dilakukan TipTip adalah memungkinkan mereka untuk memonetisasi apa yang mereka miliki. Komunitas-komunitas semacam ini tidak besar, tetapi apa yang mereka lakukan sangat, sangat manual. Jika Anda bertanya, “Mengapa ada banyak kegiatan di TipTip dan tingkat dua dan tiga?” —Itu karena: kehadiran tim kami di sana, dan kami mengerti bagaimana mereka melakukannya.
Elisa Suteja: Terakhir, Chrisanti, Anda menyebutkan bahwa pelanggan Anda di Sulawesi sebenarnya memiliki preferensi yang sama dengan pelanggan di Jakarta. Menurut saya, kelebihan dari Sociolla adalah Anda memiliki “segalanya.” Jadi, bisakah Anda berbagi sedikit tentang pola pelanggan kelas menengah? Apakah mereka benar-benar sensitif terhadap harga, dan bagaimana Anda melihat perilaku pelanggan ini?
Chrisanti Indiana: Saat ini, kami memiliki sekitar 400+ merek yang bergabung di Sociolla, dan terdiri dari berbagai jenis brand: Brand Korea, Jepang, dan Amerika Serikat, dan tentu saja, banyak brand lokal juga. Bauran ini telah banyak berubah sejak kami memulai sepuluh tahun yang lalu, dan juga dipengaruhi oleh munculnya media sosial dan konten digital ini.
Segmentasi tidak didasarkan pada kelas-kelas kota, tetapi lebih kepada profil konsumen. Anda bisa saja memiliki preferensi pada brand lokal untuk makeup, tetapi kemudian Anda lebih memilih brand Korea untuk skincare, dan kami melihat perilaku ini tidak hanya di kota tingkat satu tetapi juga di kota tingkat dua dan tiga.
Dengan adanya pandemi COVID-19, terjadi percepatan konsumsi konten dan orang-orang mulai mengetahui lebih dari sekadar apa yang mereka lihat di kota mereka. Mereka mengetahui brand-brand baru seperti apa yang akan hadir, dan menurut saya hal ini juga membantu industri ini berkembang lebih cepat lagi, dan brand lokal juga berinovasi lebih cepat lagi.
Tonton video berikut untuk informasi lebih lengkap.