From Portfolios
Menciptakan pertanian masa depan dengan teknologi untuk ketahanan pangan
Dunia sedang menghadapi situasi yang mengerikan. Pada tahun 2050, kebutuhan pangan diperkirakan akan berlipat ganda karena populasi diperkirakan akan mencapai 9,7 miliar. Jika kita tidak mengubah sistem pertanian global, dunia mungkin akan kehabisan pangan hanya dalam 27 tahun, menurut The World Count.
Ini adalah salah satu bagian dari kenyataan menakutkan yang harus kita hadapi. Dunia sedang menghadapi banyak tantangan, termasuk perubahan iklim, yang menyebabkan penurunan hasil pertanian dan meningkatnya kelaparan di dunia.
Di Asia Tenggara, situasinya bahkan lebih memprihatinkan. Menurut laporan penelitian dari Asian Development Bank (ADB) 2021, wilayah ini mengalami kerugian sebesar US$21 miliar dari tahun 2008 hingga 2018 dalam produksi tanaman dan ternak akibat bencana yang disebabkan iklim. Penduduk Asia Tenggara sudah berjuang untuk menghasilkan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dengan perubahan iklim yang merusak tanaman dan ternak, semakin sulit bagi mereka untuk bertahan hidup.
Kita harus segera bertindak menghadapi perubahan iklim, dan untungnya, ada solusi seperti GREENS. Startup agritech Indonesia ini bekerja menghadirkan pertanian berkelanjutan dan kebutuhan pangan dengan mengembangkan dan menanam sayuran bergizi tinggi tanpa tanah. Co-Founder Erwin Gunawan percaya bahwa ekosistem pangan hiperlokal dapat mendorong keberlanjutan di sektor pertanian.
Permasalahan utama dalam sektor pertanian Indonesia
Sebagai negara agraris, Indonesia masih bergantung pada produk impor karena ketidakmampuan negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dengan latar belakang ini, tiga founder GREENS, Erwin Gunawan, Geraldi Tjoa, dan Andi Sie menemukan bahwa negara kita menghadapi banyak tantangan di sektor pertanian. Erwin menguraikan tiga masalah utama yang dihadapi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
1. Degradasi pangan
Lahan kini menjadi semakin langka, sekitar 12 juta hektar terdegradasi setiap tahun, menyebabkan tanah rentan dan kekurangan air. Dengan menciptakan lingkungan yang kondusif melalui teknologi, kita mampu mengamankan kebutuhan pangan. GREENS pod adalah salah satu contoh solusi yang dapat diterapkan untuk sistem pertanian masa depan. Teknologi tersebut memungkinkan praktik pertanian mulai dari bercocok tanam hingga panen di banyak tempat seperti basement, mall, bahkan lahan pertanian yang berpindah-pindah.
2. Krisis tenaga kerja
Meskipun memiliki latar belakang pendidikan pertanian, generasi muda tidak menganggap pertanian sebagai pilihan karir yang menjanjikan dan lebih memilih industri lain. Mengubah profesi petani dan gaya kerjanya diperlukan untuk menarik generasi muda ke dalam industri ini. GREENS menghadirkan image yang berbeda untuk generasi muda, memikat mereka dengan citra petani masa depan yang bekerja di laboratorium dan menjadi ahli botani.
3. Efek perubahan iklim
Perubahan iklim sedang tidak memadai dan mengancam ketersediaan pangan. Perubahan iklim meningkatkan curah hujan menjadi 3,6% pada tahun 2020, menyebabkan suhu dan kelembapan yang lebih tinggi di Asia Tenggara, yang secara substansial berdampak pada kelembapan tanah dan kekurangan air. Hal ini dapat menurunkan hasil gabah dan hingga 10% produksi padi. Erwin menegaskan akan sulit menjaga ketahanan ketersediaan pangan jika masih mengandalkan kondisi iklim.
Memanfaatkan teknologi untuk pertanian masa depan
Mengatasi masalah ini, para founder GREENS mengembangkan teknologi untuk meminimalkan limbah makanan, menciptakan rantai pasokan yang efisien, dan mengatur hasil panen untuk meningkatkan ketahanan pangan. Mereka berinovasi pada solusi baru pertanian dengan menggabungkan berbagai teknologi untuk mengendalikan lingkungan untuk pertumbuhan tanaman. GREENS telah membudidayakan sayuran bergizi tinggi menggunakan Artificial Intelligence (AI), blockchain, dan Internet of Things (IoT). Dimana setiap tanaman diawasi oleh ahli botani sehingga menghasilkan nutrisi 39 kali lebih banyak dari biasanya.
Menggunakan teknologi pengontrol lingkungan yang disebut GREENS Pod, algoritma mesin ini dapat secara otomatis menyesuaikan suhu, air, cahaya, kelembapan, dan tingkat CO2 terlepas dari kondisi iklim serta mampu memastikan kebersihan, keberlanjutan, dan kualitas nutrisi. Selain itu, dengan bantuan teknologi tersebut, hasil panen dapat dicapai dengan waktu yang lebih singkat. Misalnya, masa panen stroberi umumnya membutuhkan waktu 12 bulan. Namun, di GREENS Pod, hanya butuh 4,5 bulan dengan tingkat keberhasilan 99,9%.
GREENS telah mengembangkan 25 algoritma microGREENS, termasuk bunga yang dapat dimakan, buah beri, dan berbagai sayuran. Di masa depan, Pod tersebut ditargetkan untuk menghasilkan umbi-umbian serta dengan tujuan utama menyediakan beras untuk meningkatkan stabilitas pangan Indonesia.
Erwin mengatakan lebih lanjut bahwa GREENS menyambut baik kerjasama dengan pihak lain, seperti ISMAYA Group dan beberapa rumah sakit, untuk menyediakan makanan bergizi tinggi dan memperluas bisnis mereka ke pasar baru. Selain itu, GREENS bekerja sama dengan WIR Group untuk segera meluncurkan edible NFT yang dapat dimakan dalam metaverse.
Membangun ketahanan pangan Indonesia
Pertanian rentan terhadap cuaca dan iklim, menyebabkan sektor agrikultur paling rentan terkena dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, kita membutuhkan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan lingkungan dengan cara mengendalikannya. Inovator teknologi memainkan peran penting bagi penjualan tanaman di masa depan untuk membangun ekosistem pertanian baru yang menjamin ketahanan pangan.
“Kita harus bekerja sama untuk bergerak menuju masa depan iklim yang penuh harapan. Memanfaatkan teknologi adalah satu-satunya cara untuk membangun ketahanan sektor pertanian dan pasokan pangan saat kita menghadapi tantangan di masa depan, ”kata Erwin.
Faktor apa yang harus diperhatikan saat memulai startup agrikultur?
Sabar dan gigih. Pertanian modern terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan populasi dunia yang terus meningkat. Hal ini merupakan tantangan tetapi juga menghadirkan peluang besar di masa depan. Di saat kebutuhan pangan terus meningkat, para inovator teknologi harus berlomba dengan berbagai praktik seperti menanam, menyiram, memanen, dan lain-lain. Selain itu, perlu adanya kolaborasi antara peneliti, petani, ahli teknologi, serta pemangku kepentingan.
Mengatasi masalah ini, East Ventures dan Temasek Foundation menawarkan kesempatan unik bagi para inovator iklim di luar sana untuk bergabung dalam Climate Impact Innovations Challenge. Para entrepreneur dapat mempresentasikan ide inovatif dan kreatif mereka untuk membantu mengatasi berbagai masalah di bidang Energi Terbarukan, Pangan dan Pertanian, Mobilitas, dan Kelautan.
Pelajari lebih lanjut tentang Climate Impact Innovations Challenge dan kirimkan inovasi Anda disini.