From Portfolios
Batu loncatan merek kecantikan D2C Indonesia untuk go international
Pada 2020 lalu, marketplace produk-produk kecantikan asal Indonesia Sociolla berekspansi ke luar negeri, tepatnya ke Vietnam. Sama seperti sepak terjangnya di tanah air, Sociolla Vietnam menawarkan produk-produk dari berbagai merek kecantikan global, seperti Maybelline, Neutrogena, hingga Laneige yang berasal dari Korea Selatan.
Sociolla juga menawarkan produk-produk kosmetik dari Esqa, Avoskin, dan Carasun. Semuanya adalah merek Indonesia yang terjun ke pasar internasional.
Di tengah tren model bisnis direct-to-consumer (D2C) yang berkembang pesat di Indonesia, beberapa pelaku industri mulai mengincar peluang pertumbuhan di luar negeri. Pelaku e-commerce regional, seperti Shopee dan Lazada, juga menawarkan program penjual internasional yang memungkinkan transaksi lintas negara.
Namun, meski potensinya jelas, ekspansi bisnis seperti ini bisa tampak seperti upaya yang amat menantang.
“Memasuki pasar baru sebenarnya sama seperti membangun brand kamu secara lokal dari awal,” ujar Willson Cuaca, salah satu co-founder dan Managing Partner East Ventures yang juga berinvestasi ke Sociolla dan Esqa.
“Secara keseluruhan, kami percaya pentingnya jadi pemimpin pasar. Kamu perlu fokus mengelola keunggulan perusahaan dan pasar terlebih dahulu,” tambahnya.
Bekerja sama dengan Sociolla memberi keunggulan unik bagi para pengelola merek produk-produk kecantikan dari Indonesia. Layanan Sociolla bisa mengurangi kerumitan yang akan dihadapi perusahaan-perusahaan tersebut di Vietnam.
Meski demikian, memiliki mitra retail kecantikan sebenarnya bukanlah satu-satunya cara untuk mengembangkan bisnis hingga ke luar negeri.
Industri yang menjanjikan, segmen pasar yang spesifik
Dalam waktu dua tahun setelah berekspansi di Asia Tenggara, Sociolla telah membuka 13 gerai fisik–sebuah aspek penting dari strategi omnichannel perusahaan–yang tersebar di 4 kota Vietnam. Sebagai perbandingan, Sociolla memiliki 49 gerai di 29 kota Indonesia yang telah beroperasi sejak 2015.
Sama seperti kebanyakan segmen D2C lain, industri kecantikan juga cepat dipenuhi para pelaku pasar. Namun sifat produk kosmetik yang habis saat dikonsumsi telah memberikan keunggulan ekstra pada sektor ini dalam hal ekspansi pasar.
Serupa dengan sektor D2C elektronik dan fesyen, produk kecantikan merupakan kebutuhan tersier. Namun menurut Christopher Madiam, salah satu co-founderdan Presiden Sociolla, produk-produk ini tak selalu masuk ke kategori yang mencerminkan status sosial.
“Sebagian besar konsumen produk-produk kecantikan menggunakan produk lokal dan internasional berdasarkan usia, jenis kulit, dan demografi masing-masing,” ujarnya.
Willson menilai Industri kecantikan Indonesia yang bernilai US$15 miliar (sekitar Rp222,6 triliun) kondisinya terfragmentasi. Namun, berkat populasi Indonesia dan Vietnam yang cukup besar, ukuran tiap-tiap ceruk pasar masih cukup signifikan untuk digarap.
Seiring dengan permintaan konsumen di Indonesia, Sociolla telah memasuki segmen produk-produk kecantikan yang dibuat dengan bahan-bahan alami dan berkelanjutan. Data dari Sociolla menunjukkan, pada kuartal ketiga 2021, produk kecantikan organik serta merek kecantikan asal Jepang dan Korea tumbuh sebesar 18,36 persen per tahun.
Pendekatan yang sama tampaknya berhasil dilakukan di Vietnam. Menurut Christopher, terlepas dari perbedaan warna kulit konsumen secara keseluruhan, permintaan untuk produk di kategori tersebut juga meningkat di negara tersebut.
Tiga merek D2C Indonesia yang dibawa Sociolla ke Vietnam juga menawarkan produk organik. Esqa, khususnya, melihat potensi besar untuk kosmetik vegan, mengingat terbatasnya penawaran produk sejenis itu di Vietnam.
Tren kecantikan akan terus berubah, memahami aspek sosial budaya dari pasar yang baru juga membutuhkan waktu. Namun, menggandeng Sociolla sebagai mitra distribusi memungkinkan merek-merek ini memanfaatkan wawasan pasar dan reputasi marketplace tersebut.
Langkah ini bisa menghemat biaya dan energi, karena mereka tidak perlu mencari bantuan distributor di Vietnam. Setidaknya di tahap awal ekspansi bisnisnya.
Sertifikasi BPOM dan strategi harga
Sociolla melihat ekspansi bisnis relatif sulit dilakukan selama pandemi. Perusahaan sulit mengelola dokumen, mengatur tim, serta mengembangkan penawaran bisnis secara fisik di Vietnam. Mengajukan sertifikasi ke pemerintah ternyata menjadi rintangan signifikan yang dihadapi perusahaan.
Demi memastikan sebuah produk aman digunakan dan diberi label dengan benar, produk-produk kosmetik harus diuji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Di Vietnam, proses serupa juga diperlukan, dan bisa memakan waktu 2-3 bulan untuk mendapat persetujuan, kata Cindy Angelina selaku co-founder dan CEO Esqa.
Namun bagi Avoskin, proses ini memakan waktu lebih dari satu tahun. Beberapa produknya mengandung bahan aktif yang mendapat izin dari BPOM di Indonesia, namun masih perlu disesuaikan untuk memenuhi peraturan di Vietnam.
Standar peraturan untuk kosmetik memang “cukup rumit” dan mirip pedoman untuk persetujuan obat, kata CEO Avoskin Anugrah Pakerti. Avoskin juga telah berekspansi ke Singapura secara independen, lepas dari Sociolla.
Menyesuaikan strategi harga berdasarkan kondisi di pasar baru juga menjadi tantangan tersendiri. Harga produk-produk kosmetik Indonesia umumnya lebih tinggi di Vietnam karena perbedaan pajak dan biaya logistik.
Merek-merek kecantikan ini menginginkan selisih harga pada kisaran yang “wajar”. Esqa, misalnya, berusaha menjaga disparitas harga maksimum sebesar 10-15 persen, kata Cindy.
Christopher, co-founder Sociolla, menekankan pihaknya tidak mengontrol strategi harga dari merek kecantikan.
Selain membantu merek-merek lokal masuk pasar internasional, Sociolla juga membantu pemain asing menembus pasar Indonesia. Dari 150 merek internasional yang dibawa Sociolla ke Indonesia, 50 di antaranya masuk ke tanah air dengan bantuan Sociolla, termasuk mendaftarkan produk mereka ke BPOM. Sebagai perbandingan, ada sekitar 200 merek Indonesia di pasar.
Sama halnya dengan Sociolla, SaladStop juga perusahaan portofolio East Ventures. Berbasis di Singapura, rantai makanan sehat D2C juga telah meluas ke Indonesia.
Dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan asing, Christopher menilai perusahaan-perusahaan lokal dapat membuat inovasi produk lebih cepat. Namun merek internasional tentu memiliki kekuatan lebih dalam hal skalabilitas, tambahnya.
***
Baca artikel asli selengkapnya di Tech in Asia, 20 April 2023.