Coba, iterasi, gagal di awal – Kisah startup founder Rekosistem

Sebelum mendirikan Rekosistem, Ernest Layman dan Joshua Valentino, yang merupakan kawan satu kampus, bekerja di dunia korporat. "Joshua sangat peduli isu sosial dan etis, dan saya peduli lingkungan. Dari situ kami bekerja sama—Joshua menjadi sopir truk," canda Ernest, "dan saya menjadi investor." Begitulah awal Rekosistem dibentuk.

Panduan ESG untuk startup

‘Tungku-tungku pembakaran di dunia membakar sekitar 2.000.000.000 ton batu bara per tahun. Ketika pembakaran ini terjadi dan menyatu dengan oksigen, 7.000.000.000 ton karbon dioksida dilepaskan ke atmosfer setiap tahunnya. Hal ini menjadikan udara sebagai ‘selimut’ yang lebih efektif bagi bumi dan membuat suhu meningkat. Dampaknya mungkin akan sangat besar dalam beberapa abad.’ Kutipan di atas diambil dari surat kabar tahun 1912 yang memperingatkan tentang konsekuensi pertumbuhan yang tidak terkendali. Kekhawatiran global mengenai kelangsungan hidup generasi mendatang dan planet terus meningkat hingga tahun 1987, ketika PBB mendefinisikan keberlanjutan sebagai “memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”

Menghitung dampak ekonomi dari pemanasan global

Perubahan iklim telah mengubah tatanan ekonomi dan sosial dunia dengan cepat, tidak terkecuali di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Wilayah ini menghadapi berbagai tantangan di semua tingkat masyarakat, yang juga berdampak pada berbagai sektor, termasuk ketahanan pangan, pariwisata, dan bahkan kesehatan.