‘Saatnya percaya pada kemampuan bangsa’: Willson Cuaca

3 November 2021

Pandemi bukan hanya sebuah krisis, tetapi sebuah keadaan yang mempercepat laju pengembangan teknologi digital. Co-founder dan Managing Partner East Ventures, korporasi Indonesia yang bergerak di investasi usaha rintisan di Asia Tenggara dan Jepang, Willson Cuaca menceritakan hal itu kepada Kompas, Senin (16/8/2021).

Sejak awal ia juga percaya dengan kemampuan bangsa sendiri. Kepercayaan ini yang membuat investasi mereka dan usaha rintisan yang didanai sukses.

Bagaimana pandangan Anda tentang usaha rintisan di Indonesia?

Pada tahun 2009 kita mendanai Tokopedia, kemudian Traveloka 2012, dan seterusnya. Itu semua perjalanan yang panjang dalam menggali potensi ekonomi digital Indonesia. Kami melihat ada potensi yang begitu besar di Indonesia karena pertumbuhan perusahaan teknologi yang akan terus melaju atau inflection point. Dulu pengguna internet hanya 30 juta, tetapi pada akhir tahun lalu telah mencapai 200 juta. Di Asia Tenggara ada 300 juta-400 juta pengguna dengan separuhnya ada di Indonesia.

Apa yang terjadi di pasar seperti itu?

Adopsi teknologi digital sangat cepat dan banyak yang menggunakan produk digital. Oleh karena itu, banyak orang berinvestasi di usaha rintisan. Kita juga mempunyai infrastruktur digital. Ada yang dibangun pemerintah. Ada yang dibangun swasta seperti sistem pembayaran, logistik, lokapasar, pemasaran digital, dan pengembangan UMKM.

Kombinasi antara pasar 200 juta pengguna internet dan infrastruktur itu membuat kita yang terbagus di ASEAN. Singapura dikenal karena pemerintahnya probisnis, tetapi di luar itu mereka lebih melihat Indonesia. Kita berada di posisi yang sangat baik sekarang.

Tanpa Covid-19, kita sudah baik, begitu Covid-19 datang yang terjadi adalah akselerasi. Apa yang biasanya bisa dicapai dua tahun, sekarang tercapai hanya beberapa bulan karena semua dipaksa untuk menggunakan produk digital.

Bagaimana dengan ketersediaan talenta-talenta untuk merespons perkembangan ini?

Masalah talenta adalah masalah klasik, bukan hanya di Indonesia saja. Di negara lain, seperti Singapura, China, dan Amerika Serikat juga terjadi. Dari kacamata saya, tidak mungkin saya menunggu sampai talenta komplit lebih dulu. Ada talenta atau tidak kita investasi. Kita harus percaya bahwa suatu hari kita akan jalan. Kita investasi dulu baru kita lihat nanti bagaimana.

Industri digital telah menarik banyak pendanaan, investasi itu juga digunakan  untuk pengembangan talenta. Tokopedia, Gojek, dan lain-lain tentu merekrut orang dulu dan kemudian mengedukasi talenta internal mereka. Posisi talenta kita baik sekali dibanding negara yang lain. Mengapa? Talenta kita menangani pasar yang besar sekali. Di negara mana yang bisa menangani lalu lintas pengguna sebesar itu? Itu cuma di Indonesia. Talenta kita dipaksa belajar.

Industri yang berkembang pesat menarik talenta baru dan juga menarik talenta dari industri lain. Ada keterampilan yang menyambung antarindustri sehingga paling hanya cara pandang saja yang diubah, yaitu cara pandang digital. Namun, dengan industri digital yang membesar, kita masih kekurangan talenta. Oleh karena itu, perusahaan teknologi tetap melakukan akselerasi pembinaan talenta.

Apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan talenta kita?

Kekuatannya kita di pasar yang besar memberi lahan para talenta untuk belajar dan berkembang dengan baik. Kelemahannya, sekarang sih tidak ada. Saya tidak melihat kelemahan talenta kita karena industri berkembang terus.

Perusahaan Anda telah memiliki pengalaman lama. Apa kunci sukses berinvestasi di perusahaan teknologi?

East Ventures percaya dengan kemampuan bangsa sendiri. Kalau bukan kita yang percaya siapa lagi? Kalau kita terlalu banyak kalkulasi di awal, kita tidak akan investasi ke Tokopedia, Traveloka, Ruangguru, dan lain-lain waktu itu.

Setelah kita percaya, kita harus belajar dengan cepat. Kita mengamati apa yang terjadi, kita melakukan akuisisi kemampuan kemudian kita melihat kemampuan yang harus ditingkatkan. Kita belajar dari negara lain kemudian kita melakukan penggalangan dana dari luar, tetapi kita tidak hanya ambil dana saja tetapi juga ilmunya sehingga terjadi transfer pengetahuan.

Kita memastikan membantu kemunculan wirausaha baru lagi. Oleh karena itu harus ada efek kincir air. Kita membangun komponen-komponennya dan seterusnya, begitu ekosistemnya jadi kincir kemudian berputar. Kincir tidak akan berputar tanpa tenaga yang pertama. Oleh karena kita percaya dengan bangsa sendiri dan komponen sudah terbangun, putaran tambah kencang. Makin lama makin kencang.

Kapan East Ventures yakin bahwa langkah yang diambil saat itu adalah langkah yang tepat?

Titik kita yakin bahwa kita benar adalah ketika para pendiri usaha rintisan yang kita biayai melakukan hal yang benar. Saat mereka melakukan yang benar, belajar hal yang benar, akan tecermin ke angka-angka yang tumbuh dan naik. Kita belajar dari perusahaan di luar negeri bahwa semua berangkat dari seperti itu.

Kita juga harus mengerti industri digital berbeda dengan perusahaan tradisional. Investasi akan balik lebih lama, seperti Amazon yang baru menguntungkan 10 tahun. Mereka lama memastikan bahwa para pengguna di dalam ekosistem.  Kalau sudah nyaman baru memikirkan cara untuk mendapatkan uang tanpa merugikan pengguna. Model bisnis dinamis lagi. Untuk mendapatkan uang tidak harus dari transaksi. Kunci pertama adalah mengedukasi pengguna. Kalau tidak tahu, dikira kami sedang membakar duit.

Anda berinvestasi tidak hanya di Indonesia, seperti apa perbandingan usaha rintisan di Asia Tenggara?

East Ventures berinvestasi di Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Semuanya bagus. Saat kita investasi kita bukan hanya melihat negara atau pasar, tetapi juga orangnya. Kita ingin investasi di orang. Selama orangnya bagus atau CEO-nya bagus kita akan investasi.

Akan tetapi, CEO-CEO Indonesia itu sangat diuntungkan dengan posisi negara yang terbesar. Di tempat-tempat lain tidak mendapat keuntungan itu, semisal investasi di Singapura terus kemudian mereka sudah menjadi nomor satu di negara tersebut. Karena itu, untuk mendapatkan pasar besar mereka harus keluar dari Singapura. Intinya para pendiri di Indonesia sangat beruntung makanya saya mendorong wirausaha Indonesia untuk berinovasi.

Bagaimana dengan kualitas usaha rintisan di Indonesia?

Kualitas bagus banget besar. Pasar yang besar dan banyak persaingan sehingga model bisnis lebih kreatif. Talenta makin banyak. Kalau diperhatikan, tidak ada unicorn tanpa pasar Indonesia. Siapa pun harus ada di Indonesia. Sesuatu yang unik dari Indonesia.

Bagaimana dengan perkembangan di China, apakah investor akan beralih ke Asia Tenggara?

Karena situasi di China investor lebih hati-hati dengan pergerakan regulasi. Keadaan ini akan menguntungkan ke Asia Tenggara karena kawasan ini lebih stabil. Khusus Indonesia, saya melihat keuntungannya adalah pemerintah makin sangat mendukung usaha rintisan, semisal Kementerian Kesehatan mendukung inovasi dalam teknologi kesehatan. Usaha rintisan sangat berperan saat pandemi ini dan pemerintah juga mendukung.

Setelah mendanai berbagai usaha, East Ventures mau bergerak ke mana?

Visi East Ventures sangat sederhana sekali, yaitu keadilan digital bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, bagaimana caranya di setiap aspek kehidupan masyarakat menjadi lebih baik baik,  efisien, murah, dan sejahtera dengan menggunakan teknologi digital sebagai alat.

Kita dulu mulai dari bidang UKM, edukasi, logistik, sistem pembayaran, mengapa kita tidak masuk ke nelayan? Kebetulan usaha rintisan Aruna mempunyai eksekusi terhadap masalah yang dihadapi nelayan maka visinya nyambung dengan kita. Jalur rantai pasok ikan lebih efisien. Rantai pasok dikompres dan bisa didekatkan.

Sebelum nelayan kita pernah ke Warung Pintar. Intinya East Ventures akan berinvestasi ke semua sektor. Semua bisa diberdayakan dengan digital dan yang penting kita ketemu dengan orang yang visinya sama kemudian bisa mengeksekusi dan paham teknologi digital.

***

Artikel asli di Kompas, 18 Agustus 2021.