“Kena Mental”, Kini Bisa Lari ke Platform

January 22, 2022

Perubahan-perubahan dan inovasi yang tengah dilakukan tak hanya memberi cerita baik dan bagus-bagus. Masalah kesehatan mental juga “berinovasi”. Masalah makin kompleks. Tak heran muncul istilah “kena mental”. Cara berkonsultasi lama sudah tidak memadai, ke platform kita bisa bercurhat.

Ada beberapa platform yang bisa digunakan untuk berkonsultasi masalah kesehatan mental, seperti Mindtera, Riliv, dan Bicarakan.id. Platform telah mampu menghilangkan masalah keengganan berkonsultasi, rasa malu, dan juga masalah bicara. Pertumbuhan platform untuk kesehatan mental sangat menjanjikan. 

Co-Founder Mindtera Tita Ardiati menuturkan, Mindtera merupakan platform untuk mencegah masalah kesehatan mental membesar. Sebelum sakit, ke Mindtera dulu. Ibarat psikolog itu obat, sementara Mindtera adalah vitamin. Platform ini untuk mengecek kesehatan mental.

“Ketika kita bertengkar dengan pasangan, kan, enggak langsung ke psikolog, tetapi ini, kan, perlu penanganan preventif. Kita bertanya dulu, ada masalah apa? Mindtera untuk memenuhi kebutuhan itu,” kata Tita. Mindtera dibangun sejak April 2021 dan kemudian merek diluncurkan pada Juni. Setelah itu, Agustus tahun lalu mereka mendapat pendanaan awal (seed funding) dari East Ventures. Dalam empat bulan jumlah pengunduh Mindtera mencapai 4.000. Mereka sudah masuk ke pelanggan korporasi. Ada 20 ahli yang terlibat.

Pengguna diajak untuk melakukan pembimbingan pribadi (self coaching) saat masalah muncul dengan mengakses konten yang disediakan. Mereka akan menonton konten dan kemudian memiliki cara pandang baru, mengobservasi diri, kemudian disediakan praktik pernapasan, meditasi, dan lain-lain serta curhat.

Tita menuturkan, latar belakang pembuatan platform itu berkait dengan kisahnya. Tita yang semula bekerja di perusahaan teknologi internasional dan bergaul dengan berbagai bangsa mulai memikirkan masalah kesehatan mental saat ia hamil anak kedua.

“Waktu hamil saya ada komplikasi. Performa kerja saya turun dan keseharian saya juga turun. Kayaknya ada yang salah, nih. Kala itu tahun 2018 soal kesehatan mental belum menjadi isu yang umum. Masih awam. Kalau kita ke psikolog, dianggap seperti orang sakit jiwa dan malu. Perspektif masih buruk,” katanya.

Tita mencoba datang ke psikolog dan psikiater. Ia mengakui memang ada dampaknya, tetapi pada dasarnya ia enggak mempunyai masalah mental yang kronis, hanya stres. Kemudian ia mencari alternatif lain karena pendekatan saat itu juga masih model lama dan ongkosnya mahal.

“Saya mencari alternatif lain. Saya ketemu dengan live coaching. Metode ini terkenal di Barat. Yang jadi pembimbing biasanya adalah penulis buku. Peserta merasa lebih dekat dan tak ada halangan. Kita bisa memelihara kesehatan mental agar stres tidak jadi kronis. Metode ini merupakan latihan agar kita lebih fokus. Sama seperti di agama pun ketika berdoa perlu fokus. Metodenya sama, melatih otak kita untuk fokus dan konsentrasi,” kata Tita.

Kualitas hidup

Dengan life coaching Tita merasakan kenaikan kualitas kerja, perubahan, dan bisa menavigasi diri dengan lebih baik. Dampaknya menjadi tidak reaktif dan tidak impulsif lagi. Semua ini berpengaruh ke hubungan keluarga dan penggunaan waktu menjadi berkualitas. Keputusan yang diambil jauh lebih bijak. Kalau dulu sangat reaktif dan banyak mengalami turbulensi, ia bisa mengambil jeda.

Dari pengalaman ini, Tita melihat di Indonesia ada 21 persen usia produktif mengalami problem kesehatan mental kronis. Sementara ternyata jumlah praktisi yang menangani kesehatan mental jauh dari standar WHO. Rasio satu psikolog dan konselor bisa menangani 30.000 populasi. Di Indonesia jumlah psikolog atau konselor tidak sampai 3.000 orang. Oleh karena itu, satu psikolog harus menangani ratusan ribu orang.

“Tidak ideal. Ada keterbatasan. Saya membayangkan orang yang mengalami masalah kesehatan mental kronis mungkin bisa ditangani profesional, tetapi yang lainnya, bagaimana? Mereka tidak tahu kalau ada alternatif yang lain, bisa self counseling atau self healing dengan cara pandang baru,” kata Tita.

Tita sempat menjawab masalah keterbatasan itu dengan membikin sekolah yang berkait dengan kesehatan mental.

Namun, cara ini masih memiliki keterbatasan, yaitu akses dan jumlah tenaga. Akhirnya ia membuat rekaman konten untuk kepentingan edukasi. Orang bisa belajar sendiri.

Platform bisa menyelesaikan tiga aspek, yaitu kemudahan akses, murah untuk didapat, dan program terstruktur. Ia yakin cara ini bisa dijalankan.

“Teknologi bisa menjawab masalah ini. Saya bisa menjangkau seluruh Indonesia. Karena direkam, bisa diakses banyak orang dan tak butuh tenaga banyak,” ujarnya.

Fenomena media sosial

Co-Founder Riliv Audrey Maximillian Herli mengatakan, ia mulai membangun Riliv tahun 2015, tetapi sebagai perseroan terbatas pada 2018. Awalnya ketika ia bermain media sosial dan melihat banyak orang yang curhat melalui media sosial.

“Bukannya selesai malah banyak yang dirundung. Fenomena itu masih terjadi sampai sekarang. Mengapa tidak disampaikan di tempat yang tepat? Setelah ada masukan dari mentor, saya mulai memba- ngun platform. Bukan hanya tempat curhat, melainkan juga tempat berkonsultasi dengan psikolog,” kata Maximilian.

Seiring berjalannya waktu platform itu tidak hanya untuk berkonsultasi, tetapi juga untuk penyembuhan secara mandiri dan meditasi kapan pun dan di mana pun. Konten dibuat oleh profesional.

Kini jumlah pengguna mencapai lebih dari 700.000. Profesional yang bergabung telah mencapai lebih dari 100 psikolog dan pakar lainnya. Pengguna bisa berkonsultasi melalui teks, suara, dan video panggilan selama 60 menit. Orang juga bisa melakukan meditasi.

“Sejauh ini orang sudah mulai sadar kesehatan mental. Pada masa pandemi jumlah pengguna mengalami peningkatan empat kali lipat dibandingkan dengan sebelum pandemi,” kata Maximillian.

Ia berharap Riliv menjadi platform yang bisa digunakan oleh generasi ke depan. Gen Y dan gen Z akan mendominasi usia produktif. Ketika stres tinggi, Riliv ingin hadir memfasilitasi mereka.

“Teknologi lebih memudahkan. Kita ingin memberi bantuan pada bidang kesehatan mental. Kita tidak akan menggantikan psikolog yang ada, tetapi melengkapi. Riliv menjadi pintu awal paling tidak untuk mengobrol dan konsultasi. Setelah itu bisa bertemu langsung dengan psikolog,” katanya.

Dari para pengguna, mereka merasa terbantu dan tidak malu lagi berkonsultasi. Orang menjadi merasa nyaman ke psikolog alias bukan sesuatu yang tabu.

“Tren juga sudah mulai berubah. Kesehatan mental menjadi sesuatu yang penting karena ditunjang sosialisasi oleh figur publik. Konsultasi kesehatan mental menjadi sesuatu yang biasa. Pengguna merasa senang karena unek-unek bisa dikeluarkan, sementara kalau ke saudara atau teman belum tentu terbuka,” kata Maximillian.

Ia menjamin privasi terjamin. Mereka juga bekerja sama dengan psikolog profesional yang menjalankan tugas sesuai dengan kode etik. Mereka tidak akan membuka rahasia ke publik. Mereka juga memiliki surat izin praktik.

Mencari makna

Pendiri dan CEO Bicarakan.id Andreas Handani mengatakan, platformnya sudah berusia hampir dua tahun. Latar belakangnya sama sekali tidak berhubungan dengan dunia psikologi, tetapi Andreas tertarik dengan bidan psikologi.

“Saya tahu ada profesor psikolog klinis di Toronto, Kanada. Dia sering mengajar dan mengunggah konten di salah satu laman. Dari konten itu saya belajar, tapi saya tidak pernah berpikir kerja di bidang psikologi,” katanya.

Andreas bekerja sebagai copywriter. Di tengah pekerjaan itu ia merasa ada yang kurang dan ia berusaha mencari makna hidup. Ia berpikir, kalau boleh memilih pekerjaan apa pun, ia ingin pekerjaan yang maknanya besar.

“Saat saya tidak tahu ke mana, saya ingat profesor itu. Apa yang bisa saya lakukan? Bagaimana saya bisa menyebarluaskan ilmunya? Sementara orang malu dan tidak terbuka dengan psikolog dan cenderung mendiamkan masalah. Di kultur Timur seperti itu,” kata Andreas.

Ia mengaku ingin berkontribusi. Selama ini orang ribet ke biro konsultasi atau rumah sakit untuk berkonsultasi, ia kemudian terpikir untuk bikin sesuatu. Ia membuka LinkedIn dan menghubungi 40 psikolog. Ada dua orang yang membalas. Satu di antaranya kini menjadi partnernya.

“Saya membikin laman. Pasang iklan di Google. Awalnya layanan menggunakan Whatsapp. Waktu itu ada 200 klien. Saya yang mencocokkan jadwal dan psikolog yang tepat. Sekarang, sih, tinggal pakai aplikasi. Langsung dibuka dan tahu psikolog yang tersedia. Orang bisa memilih. Ada 27 psikolog yang bergabung. Setiap bulan ada 1.253 klien,” katanya.

Fasilitas komunikasi melalui suara dan panggilan video. Bicarakan.id sudah meluncurkan lini baru, yaitu Rumah Bicara. Setelah konsultasi daring, bisa bertemu di rumah ini.

“Ke depan bagaimana? Kita sebagai bangsa akan maju, tetapi ada tantangan baru, termasuk tantangan kesehatan mental. Masalah makin kompleks dan juga akan berubah. Masalah relasi, pengendalian emosi, kecemasan, dan lain-lain akan muncul,” katanya.

Secara bisnis, mereka ingin menjadi ekosistem yang menampung orang Indonesia untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi. Saat ada masalah pelik, ada yang mendampingi untuk mengatasinya.

***

Artikel asli diterbitkan di Harian Kompas pada Jumat, 21 Januari 2022, halaman 13.