This is an image of East Ventures' partners,
East Ventures

Share

15 Desember 2023

Insights

Berinvestasi di ekosistem digital Asia Tenggara: Pandangan para Partner East Ventures

Sektor teknologi dan bisnis startup di Asia Tenggara telah menunjukkan ketangguhannya di tengah gejolak dan tantangan yang menghadang industri  tersebut.  Sebagai perusahaan venture capital (VC) yang terbuka pada seluruh sektor (sector-agnostic) dan pelopor investasi startup Indonesia, East Ventures memiliki pandangan yang unik. Kami berkomitmen untuk terus membangun dan berinvestasi di ekosistem digital Asia Tenggara.

Kenali pandangan dan langkah kami di tahun 2023 mengenai perkembangan sektor teknologi bersama para Partner East Ventures - Roderick Purwana, Melisa Irene, dan Avina Sugiarto. Mereka juga berbagi perspektif tentang prospek investasi di tahun 2024. 

Dengan perubahan iklim makro ekonomi global, bagaimana Anda melihat lanskap investasi teknologi di Indonesia dan Asia Tenggara selama tahun 2023?

Roderick: Dalam menghadapi ketidakstabilan kondisi global, kemampuan adaptasi sangat krusial. Kami tetap memegang visi jangka panjang dan menyesuaikan diri  sesuai keadaan namun tetap berpendirian teguh pada prinsip telah kami pegang. Ketidakpastian global, termasuk kenaikan suku bunga, berdampak pada bisnis Asia Tenggara dalam jangka pendek, sehingga investor akan mencondong ke perusahaan yang berfokus pada arus kas lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang berfokus pertumbuhan cepat (growth-oriented)

Ketidakpastian ini juga menyebabkan reorientasi jangka pendek dan mempengaruhi fundamental perusahaan teknologi, baik di tingkat lokal maupun global. Bagi para founder, investor, dan semua pihak terlibat, kuncinya adalah kembali fokus pada aspek esensial, untuk meraih peluang yang ada.

Hal yang membedakan kondisi startup di Asia Tenggara dan Amerika Serikat (AS) adalah titik acuan (baseline) yang menjadi faktor penggerak sektor ini. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki PDB per kapita, daya beli konsumen, industri teknologi, dan penetrasi internet yang masih rendah jika dibandingkan dengan AS. Meskipun valuasi startup, baik di AS dan Indonesia  menurun, pendapatan startup di Indonesia bertumbuh karena ekonomi negara tersebut meningkat.  

Sebagai contoh, jika sebuah startup yang berbasis di AS sebelumnya memiliki pendapatan sebesar US$100 juta dan valuasi lima kali lipat sebesar US$500 juta. Kini, startup tersebut mungkin pendapatannya menurun menjadi US$80 juta dengan valuasi dua kali lipat. Sementara, pendapatan startup di Indonesia mungkin meningkat dari US$20 juta menjadi US$30 juta, meski valuasinya menurun serupa dengan startup di AS. 

Ini berarti bisnis startup Indonesia masih terus berkembang. Pertumbuhan di kedua pasar ini berbeda, karena sifat bisnis di tiap negara, kematangan ekosistem, fokus pasar di tiap negara yang berbeda. 

Apa peluang yang Anda lihat di Asia Tenggara di tengah maraknya risiko geopolitik? 

Roderick: Kawasan Asia Tenggara telah menjadi perhatian dan tujuan pasar negara-negara lain, seperti Jepang dan Korea Selatan, terutama dari segi teknologi. Hal tersebut menggambarkan adanya pergeseran aliran modal yang awalnya berasal dari Tiongkok karena adanya pertumbuhan ekonomi di kawasan regional yang stabil, baik dari tingkat PDB per kapita, daya beli konsumen, penetrasi internet, dan industri teknologi di negara-negara Asia Tenggara,  menandakan ekosistem yang berkembang. Meskipun mulai dari baseline yang lebih rendah, wilayah Asia Tenggara semakin matang, dan mulai menarik perhatian investor AS di perusahaan teknologi Korea. 

Untuk membuka potensi besar di Asia Tenggara dan kolaborasinya dengan industri teknologi di Korea Selatan, East Ventures meluncurkan East Ventures South Korea fund in partnership with SV Investment senilai US$100 juta pada bulan Oktober 2023. Kolaborasi ini akan membuka koridor investasi antara ekosistem usaha atau bisnis di Asia Tenggara dan Korea, memungkinkan mereka untuk meningkatkan skala di pasar global.

Seiring berkembangnya sektor teknologi dan VC di Asia Tenggara, kami melihat perlu ada exit market yang lebih baik. Meski demikian, ada dua hal yang mendukung prospek pertumbuhan yang substantial di Asia Tenggara, yakni, lingkungan regulasi di negara-negara Asia Tenggara sangat mendukung, dan ada semangat kolaborasi di antara para founder di kawasan ini. 

Dalam semangat kolaborasi antara negara-negara ASEAN, bagaimana East Ventures mendukung ekosistem ASEAN, dan mengapa?

Roderick: Sebagai perusahaan VC, kami memiliki peran dalam membangun ekosistem ASEAN yang kondusif untuk investasi, secara aktif berkontribusi membentuk kebijakan investasi Indonesia. Inisiatif East Ventures mencakup proyek ASEAN Business Entity (ABE), yang memfasilitasi manfaat bagi perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara ASEAN. Program ini juga dapat membantu perusahaan portofolio kami dalam mengembangkan bisnis mereka di Asia Tenggara.

Asia Tenggara masih mempertahankan performa yang bagus, dibandingkan kondisi global. Bagaimana pandangan East Ventures terhadap penurunan pendanaan di 2023 dari perspektif lokal?

Irene: Penurunan funding market secara keseluruhan menandakan bahwa investor sedang menyesuaikan ekspektasi terhadap industri dan wilayah ini. Dari tahun 2020 ke 2021, terjadi lonjakan pendanaan swasta yang signifikan karena diprediksi konsumen akan lebih cenderung berbelanja secara online daripada offline. Pendanaan mengalir secara agresif ke sektor-sektor seperti e-groceries, eB2B, edutech, dan sebagainya, dimana pertumbuhannya ternyata tidak setinggi yang diantisipasi karena setelah pasar kembali normal, konsumen kembali belanja secara offline. Perubahan hipotesis untuk wilayah Asia Tenggara, ditambah dengan ketidakpastian global dan inflasi yang tinggi, menciptakan situasi di mana investor global mungkin sedang meninjau kembali peluang yang cocok bagi mereka.

East Ventures merupakan salah satu perusahaan venture capital tertua di Indonesia. Berkaca pada perjalanan kami,  penurunan pendanaan bukan hal yang aneh karena siklus pasar. Kehadiran tim kami di lapangan membantu kami memahami perkembangan pada setiap perusahaan portofolio kami untuk melihat kondisi pasar secara menyeluruh. Berkat informasi tersebut, kami tetap bisa membuat keputusan investasi tahun ini.

Adakah sektor yang menurut Anda menonjol di tahun 2023?

Irene: Kami mengamati peluang yang berbeda di setiap sektor. Di sektor konsumen, kami telah berinvestasi dalam beberapa perusahaan direct-to-consumer (D2C), seperti Compawnion (makanan hewan peliharaan), UENA (F&B hiperlokal), SoLeLands (edukasi berbasis game), dan Prep (persiapan tes bahasa).

Sektor B2B mengalami pertumbuhan pesat dan mendapat lebih banyak perhatian. Kami telah berinvestasi di berbagai sektor, terutama di Kesehatan, SaaS, Fintech, dan Logistik. Kami berinvestasi pada perusahaan seperti Hukumku (teknologi hukum), Moosa (bioteknologi), dan terus mendukung perusahaan portofolio kami, seperti McEasy (SaaS logistik), Ringkas (fintech KPR), Bababos (manufaktur), Fresh Factory (rantai dingin), Rekosistem (pengelolaan sampah), dan masih banyak lagi. Kami juga melihat pertumbuhan aktivitas di sektor-sektor baru seperti kesehatan dan teknologi iklim.

East Ventures baru saja mengumumkan “Healthcare Fund”. Apa latar belakang perusahaan dalam meluncurkan dana khusus ini?

Irene: Inisiatif East Ventures selalu dimulai dengan sebuah pernyataan masalah dan kami membuat tesis berdasarkan masalah tersebut. Sebagian besar inisiatif kami didasarkan pada probabilitas dan kami mengelola risiko investasinya.

Bagi kami, Indonesia merupakan salah satu pasar kesehatan paling dinamis di Asia Tenggara dengan potensi inovasi dan pertumbuhan yang luar biasa. Kami selalu aktif dalam mendukung sistem kesehatan di Indonesia melalui investasi ke dalam perusahaan healthtech dan berbagai inisiatif yang kami buat bersama dengan pemerintah dan sektor swasta. Tesis kami berlanjut pada potensi pertumbuhan layanan kesehatan preventif, didukung oleh perkembangan Undang-Undang Kesehatan terbaru di Indonesia yang akan membuka peluang baru untuk investasi di bidang kesehatan.

East Ventures telah berkomitmen menjadi perusahaan nol karbon pada tahun 2050. Bagaimana Anda mencerminkannya dalam proses investasi?  

Avina: Kami mengimplementasi ESG (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola) dalam seluruh proses investasi mulai dari tahap penyaringan (screening), analisis mendalam (due diligence), pemantauan portofolio (portfolio monitoring),  hingga tahap exit dari perusahaan dalam portofolio kami. 

Pada tahap screening, kami pertama-tama menilai risiko ESG dan potensi dampak dari calon portofolio investasi melalui Sustainable Investments Toolkit kami, yang sudah disesuaikan untuk memastikan kesesuaian aplikasi bagi setiap tahap pertumbuhan perusahaan. Bahkan, jika calon investasi belum memiliki praktik yang berhubungan dengan keberlanjutan, kami secara aktif mencari cara untuk memperkenalkan dan menerapkan praktik tersebut, mulai dari hal yang kecil jika diperlukan, dengan fokus awal pada peningkatan aspek tata kelola (governance). 

Kami memberikan panduan kepada perusahaan dalam portofolio kami terkait praktik ESG, sejalan dengan standar Kinerja IFC yang sesuai dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kami juga menyertakan persyaratan khusus terkait ESG untuk memastikan komitmen founder dan perusahaan dalam implementasinya.

Setiap tahun, kami melakukan survei terhadap perusahaan-perusahaan dalam portofolio kami untuk mengukur kemajuan mereka dalam integrasi ESG. Tim ESG internal East Ventures selalu siap membantu memberi solusi. Proses ini mendukung rencana perbaikan berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja ESG dari tahun ke tahun.

Inisiatif apa saja yang dilakukan East Ventures terkait ESG pada tahun 2023 serta rencana kedepannya untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero)? 

Avina: East Ventures secara konsisten melacak emisi gas rumah kaca kami sesuai dengan protokol global greenhouse gas (GHG), dan Sustainability Report tahunan kami sejalan dengan standar  pelaporan global seperti GRI dan SASB. Setelah menjadi perusahaan VC pertama di Indonesia yang menandatangani Principles for Responsible Investment (PRI) yang didukung oleh PBB, kami bergabung dengan KADIN Net Zero Hub dan berkomitmen untuk mencapai emisi operasional net zero pada tahun 2030 dan 2050 untuk emisi perusahaan dalam portofolio kami. 

Kami juga berkontribusi melalui tindakan nyata, seperti berkolaborasi dengan Pemerintah lokal dan masyarakat untuk mendukung konservasi hutan dan pariwisata alam. Kami juga memiliki proyek penanaman mangrove seperti proyek F2DT BAG 22, dimana kami menanam lima pohon bakau untuk setiap pembelian F2DT BAG 22. Selain itu, kami menyumbangkan 200 pohon mahoni untuk program penghijauan Jakarta bersama Presiden Republik Indonesia. Kami terus berinvestasi dalam startup teknologi iklim seperti Rekosistem, Xurya, dan MAKA Motors, serta melalui Climate Impact Innovations Challenge (CIIC) yang akan mendorong transisi Indonesia menuju net zero.

Di sisi internal, kami menerapkan manajemen limbah, bertujuan untuk zero waste ke tempat pembuangan akhir, dan kami melakukan praktik penghematan energi. 

Apa pendekatan East Ventures dalam membantu perusahaan portofolio Anda menghadapi tantangan selama tahun 2023, dan mempersiapkan diri untuk tahun 2024? 

Irene: Fokus utama East Ventures di tahun 2023 adalah mendukung founders kami dalam menemukan peluang di tengah kondisi global yang sulit. Kami  berperan menjadi penasihat terpercaya, melakukan pendekatan dengan komunitas, menghubungkan dengan prospek mitra bisnis, dan mitra investor untuk pendanaan tambahan.

Dalam situasi dimana investor sedang menghindari risiko tinggi (risk-averse), penting bagi para founder untuk memiliki keyakinan dan pemahaman yang kuat mengenai perusahaan dan pasar mereka. Oleh karena itu, para founder harus merancang strategi yang menyeimbangkan fokus dan sumber daya mereka. Untuk founder tahap awal, sebaiknya mereka tidak berusaha  menyelesaikan semuanya sekaligus, tapi fokus pada keahlian tim mereka, agar menemukan produk yang cocok untuk pasar.  Mereka juga perlu cerdas dan hemat  dalam pengeluaran mereka, jangan sampai uang habis sementara perusahaan belum menunjukkan perkembangan yang baik.

Meski tidak semua model bisnis dapat mencapai profitabilitas sejak awal, perusahaan yang telah menghasilkan keuntungan atau memiliki rencana jelas menuju profitabilitas dapat menonjol di antara yang lain. Karena itu, para founder perlu merancang strategi secara kreatif tentang bagaimana mencapai profitabilitas.

Dalam jangka pendek, bagaimana strategi East Ventures dan investor lain dalam menghadapi perubahan makro ekonomi dan geopolitik yang mendatang?

Roderick: Perubahan makro dan geopolitik, seperti pemilihan presiden di AS dan Indonesia tahun 2024, bisa mempengaruhi dinamika pendanaan. Meskipun kami tidak mengantisipasi perubahan besar di 2024, kami tetap optimis terhadap pertumbuhan teknologi yang terus meningkat, sambil menyiapkan diri menghadapi kemungkinan adanya penyesuaian ekonomi.

Meski pemilu tidak berdampak langsung pada operasi kami, kami tetap perhatikan potensi implikasi bisnis, baik itu perlambatan atau percepatan pengeluaran. Sebagai perusahaan venture capital yang dekat dengan para wirausahawan, kami netral dalam ranah politik, tetapi masih terlibat aktif dengan pemerintah sambil menjunjung netralitas. Sebagai perusahaan yang bertanggung jawab, kami memprioritaskan keterlibatan dengan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, demi berkontribusi sesuai kepentingan terbaik ekosistem bisnis.

Apakah hal ini juga akan berdampak pada exit market startup teknologi di tahun 2024?

Roderick: Kami memperkirakan akan terjadi peningkatan aktivitas merger dan akuisisi (M&A) karena pasar juga mengantisipasi konsolidasi. Di East Ventures, kami aktif membantu perusahaan portofolio kami dalam meraih pendanaan lanjutan dengan memperkenalkan mereka ke investor-investor pilihan. Namun, prospek IPO tampaknya lebih kecil terjadi, mengingat tren historis investor dan bisnis yang mengadopsi pendekatan  'wait and see' selama periode pemilihan umum.