Insights
Revolusi kepemimpinan: Perspektif dari para eksekutif yang menjadi founder startup
Acara East Ventures Summit 2024 yang diadakan pada bulan Juli tahun ini mempertemukan lebih dari 100 pakar dan pemimpin di bidang teknologi, startup, dan lanskap bisnis di Asia Tenggara untuk berbagi wawasan mereka yang beragam di lebih dari 30 panel yang diadakan secara bersamaan.
Empat mantan eksekutif bisnis duduk bersama dalam sebuah panel untuk berbagi cerita tentang pengalaman mereka bertransisi menjadi wirausahawan: Alvin Kumarga, Co-Founder dan CEO Cosmart, Ghirish Pokardas, Co-Founder Pintarnya, Christian Suwarna, CEO dan Co-Founder dari Diri Care, dan Raditya Wibowo, Co-Founder dan CEO dari MAKA Motors.
Bersama Direktur Eksekutif Sinarmas, David Audy, sebagai moderator, perbincangan dalam panel ini fokus membahas motivasi, tantangan, dan visi dari para founder untuk startup mereka masing-masing.
Raditya, mantan Chief Transportation Officer di Gojek dan seorang pengendara sepeda motor yang telah lama berkecimpung di dunia otomotif, berbagi pengalamannya dalam meluncurkan sebuah perusahaan sepeda motor listrik di Indonesia. Dia menekankan, terdapat peluang signifikan yang dia identifikasi pada pasar sepeda motor listrik di Indonesia, terutama kebutuhan akan produk yang lebih baik dari yang sudah ada dipasaran, yang dapat disesuaikan dengan permintaan pengguna.
Sementara itu, Christian, mantan CMO Traveloka, membahas perbedaan yang kontras – antara strategi pemasaran untuk perusahaan besar dan startup. Ia mencatat bahwa meskipun prinsip-prinsip dasar pemasaran tetap sama, perusahaan startup harus fokus untuk membangun brand awareness sejakawal berdiri. Pendekatan yang ia lakukan di Diri Care, sebuah startup kecantikan klinis, melibatkan interaksi langsung dengan konsumen untuk menyempurnakan pesan dan penempatan brand.
Ghirish, yang awalnya memiliki posisi senior bagian investment di KKR, kini mendirikan Pintarnya, dan membahas tentang motivasinya yang didorong oleh keinginan untuk mengatasi kesenjangan ketenagakerjaan dan layanan keuangan di Indonesia. Sedangkan bagi Alvin, meskipun transisi dari sektor keuangan ke e-commerce memiliki tantangan yang cukup besar, founder harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan di perusahaan untuk dapat berkembang di lingkungan startup.
Baca transkrip yang telah diedit dari diskusi panel di bawah ini untuk menggali lebih dalam perspektif mereka.
David Audy: Dalam sesi ini, kita akan membahas transisi para panelis dari eksekutif C-level menjadi wirausahawan, terutama mengenai perjalanan, cerita menarik, dan alasan mereka. Pertanyaan pertama ditujukan kepada semua panelis. Apa momen spesifik yang memicu keputusan untuk memulai bisnis sendiri, dan bolehkah diceritakan bagaimana visi untuk perusahaan Anda?
Dimulai dengan Raditya, yang dulunya adalah Chief Transportation Officer GoJek dan sekarang memiliki perusahaan sepeda motor listrik. Apa saja peluang signifikan yang Anda lihat selama masa transisi, dan mengapa Anda memutuskan untuk tetap berada di sektor sepeda motor?
Raditya Wibowo: Menurut saya, ini merupakan perjalanan yang panjang. Saya sudah mengendarai sepeda motor sejak SMA. Sebenarnya, salah satu co-founder saya adalah tetangga saya saat SMA. Jadi, kami pergi ke sekolah bersama dengan motor saya setiap hari. Dan saya masih mengendarai motor yang sama hingga hari ini. Motor itu sudah berusia 20 tahun. Saya naik motor ke mana-mana karena lebih cepat sampai ke tempat meeting.
Lalu, mengapa hari ini saya belum mengendarai motor listrik saya sendiri? Jawabannya karena tim saya belum mengizinkannya. Mereka tidak ingin orang lain mengambil foto motor listrik kami yang belum di rilis ke pasaran. Meskipun begitu, saya sudah menguji coba motor listrik ini sejauh beberapa ratus kilometer. Sebelumnya, saya dan co-founder saya bergabung dengan Gojek, kami bersama-sama bekerja dengan para mitra pengemudi selama tujuh tahun. Kami mengetahui beberapa hal tentang sepeda motor dan apa yang dibutuhkan para penggunanya.
Salah satu hal yang mulai saya perhatikan selama tahun terakhir saya di Gojek adalah motor listrik, karena pada saat itu saya berpikir, “Jika semua sepeda motor pada akhirnya akan menjadi motor listrik, kami memiliki armada yang sangat besar dengan jumlah pengguna yang sangat banyak sekitar 2-3 juta pengemudi. Jadi, bagaimana kita bisa mempelopori transisi ini?”
Awalnya kami melakukan beberapa uji coba dengan produk yang sudah ada di pasaran. Lalu yang kami temukan adalah, tidak ada satu pun motor listrik yang benar-benar berfungsi dengan baik karena berbagai alasan. Entah baterainya terlalu cepat habis, tidak nyaman untuk membawa penumpang, atau tidak ada ruang penyimpanan yang cukup. Produk yang tepat belum ada di pasaran, dan karena saya dan rekan pendiri saya memiliki banyak pengalaman dengan motor, kami merasa bahwa kami memahami para pengguna.
Kami memutuskan untuk membuat motor listrik kami sendiri tiga tahun yang lalu. Ternyata, membuat motor sendiri tidaklah mudah. Kami memilih jalan yang sulit dengan melakukan penelitian dan pengembangannya secara mandiri.
Ada begitu banyak motor listrik yang bisa Anda beli di pasaran saat ini, dengan 57 pilihan bersubsidi dari lebih dari 20 merek. Kami memang bukan yang pertama di pasar, tapi kami yakin motor listrik kami adalah yang terbaik. Kami percaya bahwa produk kami sangat berbeda dengan produk lain yang ada di luar sana.
David Audy: Apa saja tantangan yang Anda hadapi? Industri otomotif selalu digerakkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Bagaimana Anda mengatasi tantangan ini, dan bagaimana pandangan Anda dalam bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar?
Raditya Wibowo: Startup motor lainnya juga merupakan perusahaan besar. Ada juga beberapa merek lain. Saya pikir jika Anda melihat keseluruhan industri, total basis motor listrik mungkin sekitar 60.000 unit tahun lalu, sementara jumlah total motor listrik di Indonesia sekitar 130 juta. Jadi, penetrasinya masih sangat-sangat rendah, sekitar 0,6-0,8%.
Selain itu, pasar sepeda motor sangat didominasi oleh pemain besar dari Jepang. Terdapat dua merek yang saat ini menguasai 90% pasar. Hal ini sedikit berbeda dengan kendaraan roda empat, yang sedikit lebih kompetitif.
Namun, adopsi motor listrik jauh lebih lambat dibandingkan dengan mobil listrik di Indonesia, terutama karena ada beberapa merek Jepang di pasar yang memiliki produk electric vehicle (EV). Sebagai contoh, Honda meluncurkan produk motor listrik mereka tahun lalu, yang harganya lebih dari Rp 40 juta dengan jarak tempuh sekitar 40 kilometer, menurut kami hal itu belum cukup untuk Indonesia.
Purna jual (aftersales) sedikit berbeda untuk kendaraan listrik karena pemilik kendaraan tidak perlu mengganti oli; dimana hanya perlu mengganti bantalan rem sesekali.Sehingga, ini adalah model bisnis yang sangat berbeda dengan margin yang berbeda juga. Dari sana, kami melihat adanya peluang untuk menjadi permain pertama di sana.
Setelah kami memiliki sedikit keunggulan, tantangannya adalah untuk tetap berada di depan. Dalam hal skala ekonomi, perusahaan-perusahaan Jepang dapat membuat komponen mekanis yang jauh lebih murah daripada kita. Namun, komponen kendaraan listrik seperti baterai, unit kontrol, dan motor listrik tidak benar-benar digunakan dalam produk mereka yang sudah ada. Tentu saja, mereka memiliki kekuatan negosiasi yang lebih besar dikarenakan mereknya yang sudah lebih terkenal.
Namun, bukan berarti mereka bisa membeli suku cadang tersebut dengan harga yang jauh lebih murah daripada kami. Menurut saya, tujuannya adalah untuk bergerak cepat dan masuk ke pasar dengan produk yang tepat. Kami membangunproduk yang dapat menjadi titik balik adopsi sepeda motor listrik di Indonesia.
David Audy: Christian, Anda pernah menjadi CMO di Traveloka. Mengingat pentingnya pemasaran di pasar konsumen, pelajaran apa yang Anda dapatkan selama menjadi CMO yang Anda terapkan di startup Anda, dan bagaimana Anda mengelola pemasaran dengan anggaran yang besar sebelum di Traveloka?
Christian Suwarna: Pemasaran untuk startup besar dan kecil sangat berbeda. Jika Anda melihat dari sudut pandang pemasaran digital, misalnya, prinsip-prinsip dasar tentang bagaimana Anda melakukan pemasaran konten, pemasaran berbayar, SEO, dan pemasaran influencer tetap sama. Namun, ketika perusahaan Anda menjadi lebih besar dan mengalami perubahan dalam tujuan pemasaran, serta bagaimana memanfaatkan semua saluran pemasaran, maka Anda akan melihat perbedaan yang sangat besar.
Pada tujuan pemasaran, jika Anda adalah startup baru seperti kami, pada dasarnya Anda tidak dikenal. Tidak ada yang tahu atau peduli dengan produk yang anda tawarkan . Jadi, banyak upaya pemasaran yang perlu difokuskan untuk menemukan target pasar yang tepat untuk memperkenalkan produk Anda dan menarik minat mereka. Kami melakukan banyak hal-hal seperti itu diawal berdiri.
Dalam saluran pemasaran, ada sebuah perjalanan yang akan dilalui pelanggan. Kami fokus pada jenis iklan di bagian atas saluran atau top-of-the-funnel (TOFU) dan tengah saluran atau middle-of-the-funnel (MOFU) untuk menyasar mereka. Jika perusahaan sudahberada di level seperti Traveloka di mana semua orang tahu brand tersebut dan apa saja produk serta layanan yang ditawarkan, maka pemasaran a tidak perlu lagi melakukan banyak hal. Pemasaran bisa lebih fokus pada aktivitas konversi yangmembuat orang menjadi lebih loyal dan melakukan advokasi, yang dipromosikan oleh pengguna Anda untuk mendapatkan pendapatan berulang.
Sedikit aktivitas TOFU akan tetap terjadi untuk memastikan bahwa tingkat recall pelanggan terlindungi dan tidak ada kompetisi yang dapat menyaingi perusahaan. Dari perspektif pemanfaatan saluran pemasaran, kami memulai perusahaan kami, Diri Care, dengan sangat memanfaatkan media organik.
Kami ingin berinteraksi langsung dengan para pelanggan karena belum menemukan posisi yang tepat pada awalnya. Sehingga kami perlu berbicara dengan mereka secara langsung dan banyak mengubah pesan yang kami sampaikan agar dapat secara tepat menyentuh hati konsumen.
Ketika saya masih menjabat sebagai CMO, saya ingat organisasi saya memiliki banyak sekali peran untuk orang-orang pemasaran, mulai dari pemasaran konseptual hingga manajemen traffic. Di Diri Care, kami tidak memiliki kemewahan dalam hal personil atau sumber daya.
Dalam hal pemasaran, jika Anda memiliki budget yang besar, itu jauh lebih mudah dan menyelesaikan sekitar 70% masalah. Namun, jika Anda adalah perusahaan kecil, maka sebaiknya anda memiliki orang-orang yang ahli dan generalis.
Jadi, ketika saya bertransisi dari perusahaan besar seperti Traveloka menjadi founder, ini adalah salah satu hal yang secara pribadi harus saya hilangkan dari diri saya sendiri. Saya harus meyakinkan diri sendiri bahwa saya bisa baik-baik saja tanpa kenyamanan sebuah perusahaan besar dan siap untuk memulai dari awal lagi.
David Audy: Christian, Anda adalah seorang marketer sebelum beralih untuk memulai klinik kecantikan, sebuah bisnis yang sangat digerakkan oleh konsumen dan perilaku wanita. Bagaimana Anda mengatasinya, mengingat Anda tidak berasal dari latar belakang perawatan kecantikan?
Christian Suwarna: Saya akan menjawabnya dengan menceritakan sedikit tentang bagaimana kami memulai Diri Care. Kami memulai Diri Care karena pergulatan pribadi dengan kondisi kami. Sekitar empat tahun yang lalu, saya mulai melihat rambut rontok di bagian belakang kepala saya. Pada awalnya, saya mengabaikannya. Namun ketika bertemu dengan teman-teman saya, mereka mulai menyadarinya.
Masalahnya adalah ketika saya tumbuh dewasa, saya selalu memiliki rambut yang tebal. Saat saya menyadari bahwa saya mengalami kerontokan, hati saya hancur. Rekan pendiri saya, Dr. Devi, juga memiliki pengalaman serupa. Dia adalah seorang pejuang jerawat sepanjang hidupnya, jadi dia tahu secara langsung pengalaman diintimidasi di sekolah menengah dan dipandang berbeda karena Anda memiliki banyak jerawat merah di wajah Anda.
Saya ingat ketika kami memulai perusahaan selama pandemi COVID-19, dia menyebutkan sesuatu kepada saya secara sepintas, tetapi saya pikir itu cukup menarik, dan itu melekat pada saya sampai sekarang. Dia berkata, “Anehnya, saya merasa lebih nyaman berada di balik masker,” karena dia tidak perlu menunjukkan ketidaksempurnaannya. Bagi saya, itu sangat ironis. Inilah alasan kami memulai Diri Care.
Kami membangun sebuah perusahaan dengan fokus pada kecantikan klinis. Jadi, kami menciptakan klinik kecantikan online pertama di mana setiap orang bisa mendapatkan akses ke solusi yang telah terbukti secara klinis untuk semua masalah kulit mereka, seperti jerawat atau luka bekas jerawat. Bagi saya, sebagai seorang pria, saya beruntung memiliki co-founder yang juga memahami masalah kulit, sehingga selain berbicara dengan pelanggan saya, Devi juga memahami betul tentang hal itu. Dapat dikatakan, kami sebenarnya cukup dekat dengan sektor ini.
David Audy: Tidak seperti panelis lain yang dulunya bekerja sebagai C-level, Ghirish dulunya adalah seorang profesional senior bidang investasi di KKR, sebuah perusahaan ekuitas swasta yang sangat besar di Indonesia dan global. Ghirish, apa yang memotivasi Anda untuk meninggalkan posisi tinggi ini untuk membangun startup Anda sendiri?
Ghirish Pokardas: Saya akan berbagi sedikit tentang kisah saya dan Pintarnya. Visi kami dengan Pintarnya adalah memberdayakan masyarakat Indonesia dengan akses ke pekerjaan, pendapatan, dan layanan keuangan.
Saya akan mulai dengan menjelaskan mengapa itu adalah visi kami dan mengapa kami bisa berada di bidang ini. Seperti yang bisa Anda ketahui dari latar belakang saya, saya adalah orang komersial. Saya akan melihat segala sesuatunya dari sudut pandang angka.
Kenyataannya adalah jika kita melihat Indonesia sebagai sebuah pasar, angka-angka itu tidak berbohong. Di mana masalah besar, permintaan, penawaran, dan keseimbangan, di situlah Anda akan melihat margin kotor yang besar, laba kotor, dan kapitalisasi pasar yang besar. Dan di negara seperti Indonesia, hal itu ada di sektor jasa keuangan.
Layanan keuangan kurang terlayani dengan baik meskipun bank-bank kita sangat besar. Kami merasa bahwa kami dapat langsung terjun dan meluncurkan bisnis layanan keuangan atau pinjaman, tetapi kenyataannya adalah jika Anda tidak memiliki alasan kuat untuk eksis, sangat sulit untuk mendapatkan pelanggan baru.
Di situlah kami memutuskan untuk memulai dengan pekerjaan. Kenyataannya adalah bahwa kebanyakan orang tidak bisa mendapatkan kredit karena biasanya, ketika ditanya di mana mereka bekerja, berapa lama mereka telah bekerja, dan berapa gaji mereka, jawabannya relatif negatif. Jawabannya tipikal, mereka bekerja di perusahaan kecil dan menengah, digaji di bawah upah minimum, dan kontrak kerja mereka tidak memberikan tingkat permanen. Dan kami berkata bahwa jika kami bisa menyelesaikan masalah ketenagakerjaan, maka itu akan menjadi jalan kami menuju layanan keuangan. Itulah perjalanan yang telah kami tempuh saat ini.
Mengapa saya melakukan perjalanan ini, khususnya untuk saya sendiri? Jawabannya adalah karena orang-orang yang melakukan perjalanan ini bersama saya, yaitu para co-founder saya. Saya selalu ingin menjadi seorang pengusaha dan telah memiliki bisnis sejak masih kuliah. Beberapa bisnis tersebut masih bertahan hingga saat ini.
Pertanyaan bagi saya adalah, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya? Dan itu semua tergantung pada dengan siapa Anda melakukannya, bukan? Ini adalah perjalanan yang menurut saya tidak ingin saya lakukan sendiri. Setelah berada di tengah-tengah perjalanan tersebut, saya yakin bahwa ini bukanlah perjalanan yang ingin saya tempuh sendirian. Kemampuan untuk berdebat dan berbagi suka duka dengan orang lain merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai posisi kami saat ini.
Saya dan co-founder saya mungkin menghabiskan waktu sekitar sembilan bulan untuk mendiskusikan berbagai hal bahkan sebelum kami menginkubasi ide pertama kami. Setelah menginkubasinya, kami membutuhkan waktu untuk menyadari bahwa itu adalah ide yang tidak masuk akal pada awalnya. Dimana hal itu membutuhkan banyak keberanian dan tantangan.
David Audy: Jadi, pada dasarnya Anda menciptakan solusi untuk para pekerja informal. Untuk melakukan hal tersebut, Anda perlu memahami kehidupan para pekerja informal, bagaimana mereka menjalani hidup, dan apa saja kebutuhan mereka. Sebagai seseorang yang dulunya adalah seorang eksekutif tingkat tinggi, bagaimana cara Anda mengatasinya?
Ghirish Pokardas: Jawaban sederhananya adalah dengan terjun langsung. Anda belajar apa yang harus Anda lakukan dengan melakukan kesalahan pada saat pertama kali mencoba.
Bagaimana kami akhirnya bisa memahami pekerja informal? Kami hanya perlu berhenti mendengarkan data dan mulai menghabiskan waktu bersama mereka, mengajukan pertanyaan, dan melihat perilaku mereka.
Sebagai contoh, pada awal kami berdiri, tingkat kehadiran pencari kerja untuk menghadiri wawancara sangat rendah, sekitar 20-30%. Jadi, kami bertanya kepada mereka sehari sebelumnya apakah mereka akan hadir atau tidak karena ini adalah pekerjaan yang mereka lamar. Dan tingkat konfirmasinya sangat tinggi. Mereka mungkin berpikir tentang biaya yang harus mereka keluarkan untuk menghadiri wawancara. Hal seperti ini hanya bisa Anda ketahui setelah Anda berada di lapangan, dan bukan denga membuat asumsi.
David Audy: Alvin, sebelumnya Anda adalah seorang ahli produk keuangan. Tantangan apa yang Anda hadapi saat bertransisi dari eksekutif C-level ke sektor e-commerce? Bagaimana Anda mengadaptasi strategi Anda untuk berkembang di industri baru ini?
Alvin Kumarga: Saya menghabiskan waktu sekitar 4-5 tahun di industri fintech sebelum terjun membangun e-commerce kami, Cosmart.
Cosmart pada dasarnya adalah supermarket online. Visi kami adalah untuk membantu pelanggan di Indonesia mengurangi waktu belanja mereka dari 30 menit atau satu jam, baik secara offline maupun online, menjadi hanya lima menit. Kami melakukannya melalui berbagai inisiatif, fitur, dan teknologi.
Sebagai contoh, platform kami memiliki 20.000 pilihan produk terlengkap, sedangkan kompetitor terbaik lainnya mungkin hanya memiliki setengah atau sepertiganya. Kami juga menggunakan teknologi untuk mempersonalisasi. Jadi, untuk setiap orang yang membeli dari Cosmart,akan melihat bagian yang berbeda yang menunjukkan kebutuhan yang sudah di personalisasi..
Tantangan nomor satu dalam transisi dari fintech ke e-commerce adalah pengetahuan teknis. Di fintech, kami berurusan dengan peraturan, risiko, suku bunga, dan tingkat gagal bayar, sedangkan di grocery, kami memikirkan inventaris dan margin. Untuk melanjutkan poin Ghirish, saya harus melupakan banyak hal yang telah saya pelajari dan mempelajari ulang dinamika industri baru ini. Saya rasa itu adalah salah satu tantangan besar.
Kedua, karena berasal dari perusahaan besar, sumber daya adalah salah satu hal penting yang harus saya kerjakan. Sebelumnya, kami memiliki semua sumber daya. Sekarang, kami harus belajar untuk melakukan lebih banyak hal dengan sumber daya yang lebih terbatas. Satu hal yang membantu saya adalah pola pikir untuk selalu rendah hati dan belajar. Jangan berasumsi bahwa Anda mengetahui banyak hal, dan jangan berasumsi bahwa hanya dengan bertanya, Anda bisa mendapatkan jawaban yang benar. Amati, buatlah asumsi, cobalah, dan bahkan buatlah kesalahan.
David Audy: Barang-barang apa saja yang biasanya dibeli oleh rumah tangga Indonesia secara berulang?
Alvin Kumarga: Mereka membeli banyak tisu. Mereka juga membeli banyak popok karena itu adalah salah satu segmen besar yang kami miliki. Selanjutnya, mereka membeli banyak susu. Orang-orang biasanya membelinya dalam kemasan besar. Menurut saya, kunci bagi para pemain di industri kami adalah memilih segmen yang tepat dan fokus pada segmen tersebut.
Kenali pasar Anda dan ketahui apa yang harus dijual dengan menggunakan proposisi nilai kepada siapa, karena semua orang membeli bahan makanan. Setiap orang pasti menginginkan harga yang lebih murah, pilihan yang lebih baik, pengiriman yang lebih cepat, dan kualitas yang lebih baik. Jadi, Anda perlu mengetahui segmen mana yang dapat di prioritaskan dan melakukannya dengan cara yang berkelanjutan secara ekonomi. Menurut saya itulah kuncinya bagi kami.
Tonton video berikut untuk informasi lebih lengkap.