Willson Cuaca (Co-Founder & Managing Partner at East Ventures) and Najwa Shihab (Founder of Narasi), at the Fortune Indonesia Summit 2024
East Ventures

Share

15 Maret 2024

Insights

Intip perjalanan karir Willson Cuaca dan Najwa Shihab mencapai kesuksesan

Sebelum menjadi Co-Founder dan Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca meniti karirnya di bidang cybersecurity sebagai developer iPhone di Singapura. Sementara Najwa Shihab, kini jurnalis piawai dan Founder dari startup media NARASI, membina karirnya di salah satu stasiun TV lokal dari nol.

Keduanya tidak memiliki latar belakang sebagai entrepreneur, tapi hari ini, Willson dan Najwa telah menjadi founder handal di balik berdirinya East Ventures dan NARASI.

Willson percaya bahwa entrepreneurship bukanlah sebuah ‘hasil akhir,’ tetapi suatu karakter. Ia memberikan sebuah gambaran mengenai ‘Pareto Principle,’ di mana faktor yang menjadikan seorang entrepreneur sukses dimulai dari proses yang terjadi sejak kecil, seperti keluarga, agama, pertemanan, dan lingkungan. Hal ini juga dipercayai Willson akan membentuk seseorang memiliki integritas, daya juang tinggi, dan fleksibilitas.

Najwa, yang memiliki 17 tahun pengalaman sebagai wartawan politik, mengaku bahwa pengalaman sebagai entrepreneur jauh lebih berat, terutama ketika ia dihadapkan dengan keputusan yang sulit dan perubahan yang terus terjadi.

Willson dan Najwa menceritakan kisah suksesnya dalam acara Fortune Indonesia Summit 2024 di sesi “What it Takes to Become Great,” pada Kamis, 7 Maret 2024, yang dimoderasi oleh William Utomo, Co-Founder dan COO IDN Media. Simak perbincangan mereka berikut ini! 

Transkrip diskusi panel di bawah telah diedit agar singkat dan jelas.


Banyak entrepreneur dan investor mengenal Willson sebagai “The Unicorn Whisperer” atau seseorang yang memiliki “The Midas Touch.” Perusahaan yang dipegang Willson akan menjadi besar dan membawa dampak besar ke masyarakat. Namun, banyak yang belum tahu kisah seorang Willson. Boleh diceritakan? 

Willson Cuaca: Kisah saya sebenarnya simpel. Saya benar-benar produk Indonesia. Saya berkuliah di Binus, bukan di luar negeri. Tahun 2001, saya bekerja di Singapura di bagian cybersecurity. Pada waktu itu, cybersecurity belum sepopuler sekarang. Kalau tidak salah, saya adalah 1 dari 4 profesional yang mendapatkan sertifikasi tertinggi dalam bidang ini. Tahun 2008, saat iPhone pertama diluncurkan, saya menjadi developer iPhone pertama di Singapura. Setelah itu, saya mengembangkan aplikasi e-book reader untuk Gramedia. Aplikasi tersebut kami jual ke Kompas.

Tahun 2009, kami melihat potensi di Indonesia. Potensi digital di Indonesia besar sekali, tapi tidak ada 1 orang pun yang menggarapnya. Ada 3 faktor penting yang saat itu terjadi di Indonesia. Pertama, dari 230 juta penduduk Indonesia, penetrasi internet hanya 13%. Artinya, hanya ada 30 juta pengguna internet di Indonesia yang sama besarnya dengan negara Malaysia. Kedua, produk negara barat seperti Facebook dan Twitter sangat mudah masuk ke Indonesia. Penduduk Indonesia mengadopsi aplikasi tersebut karena Bahasa Indonesia, sama halnya dengan Bahasa Inggris, menggunakan alfabet. Ketiga, mobile internet. Harga iPhone mahal, sedangkan harga Android mulai murah. Jika 3 hal ini terjadi, digitalisasi akan melesat. Tapi, apa yang harus kami lakukan? Akhirnya, kami membuat 1 fund kecil dan mulai berinvestasi. Kami terus berinvestasi sampai akhirnya sekarang kami memiliki sekitar 300 portofolio. 

Kalau melihat ke belakang, apa yang sebenarnya kami bangun? Kami membangun digital infrastructure di Indonesia. Digital infrastructure adalah semua aspek yang berkaitan dengan digitalisasi. Infrastruktur logistik, pembayaran, dan distribusi media. Namun, apakah potensi tersebut sudah terlihat di tahun 2009? Belum. Mengapa East Ventures bisa bertahan sampai sekarang? Karena kami berinvestasi pada founder, bukan bisnis. Kalau kita berinvestasi pada individu, meskipun pasar dari bisnis tersebut berubah, founder akan mendorong perusahaan untuk beradaptasi terhadap pasar yang baru. Kami juga tidak terlalu berhitung untung atau rugi, karena jika kami terlalu perhitungan, sampai hari ini kami tidak akan berinvestasi apa-apa. Atau sekarang kalau kami baru memutuskan berinvestasi, semuanya sudah terlambat, karena pihak lain sudah melakukannya. 

Seorang Najwa Shihab dikenal sebagai tokoh yang vokal, dapat mengarahkan isu, dan sangat berpengaruh. Bisakah Mba Nana menceritakan jatuh bangun seorang Najwa Shihab dari awal hingga menjadi sosok yang sekarang? 

Najwa Shihab: Saya memulai sejak saya sangat muda. Saya mulai belajar memupuk keberanian untuk berbicara dan berani bersikap pada isu penting saat saya masih SMP. Pada saat itu, saya Ketua OSIS. Saat SMA 2, saya mendapatkan kesempatan mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika selama setahun. Ini juga merupakan salah satu momen yang mengubah saya secara fundamental. Pada waktu itu, pergi ke luar negeri adalah hal yang dianggap susah dan mahal. Pengalaman ini mengubah hidup saya. 

Saya merasa beruntung mendapatkan banyak kesempatan untuk bisa memupuk apa yang saya rasa sekarang menjadi kekuatan saya. Saya juga aktif berorganisasi saat kuliah. Kemudian, saya memutuskan untuk terjun ke profesi ini setelah melewati begitu banyak hal. Saya percaya, tidak ada yang serba instan.

Saya magang di RCTI sebagai reporter sebelum saya lulus kuliah. Kemudian, saya pindah ke Metro TV dan membina karir dari bawah, mulai dari reporter, asisten produser, produser, executive producer, hingga mempunyai program sendiri. Saya mulai siaran di program jam 2 subuh sampai akhirnya bisa siaran prime time. Saya mulai melakukan wawancara dari hanya konferensi pers sampai kemudian dipercaya mewawancarai orang nomor 1 di negeri ini. Semuanya dilewati dengan proses. Saya memulai dari umur 20, dan itu 25 tahun yang lalu. And I’m still doing this. Menurut saya, ini kuncinya. Tidak ada yang instan. You have to earn it. Kredibilitas bisa dipupuk karena konsistensi.

Kalian tidak memulai karir sebagai entrepreneur dan sekarang adalah seorang entrepreneur. Apakah seseorang lahir sebagai entrepreneur

Willson Cuaca: Menurut saya, entrepreneur itu bukan status dan bukan hasil akhir, tetapi karakter. Entrepreneurship sebenarnya sangat sulit diajarkan dan hampir tidak bisa diajarkan. Kalau teman-teman pernah belajar, ini dinamakan ‘Pareto Principle.’ 20% yang menjadikan seorang entrepreneur sukses terjadi dalam proses yang terjadi sejak kecil, mulai dari pendidikan keluarga, pendidikan agama, pertemanan, dan lingkungan. Ini yang membuat seseorang memiliki integritas, daya juang tinggi, dan fleksibilitas. Portofolio East Ventures ada sekitar 300. Artinya, ada 600-800 entrepreneur. Semua entrepreneur yang sukses memiliki pattern yang mirip.

Sebagai  gambaran, East Ventures melihat 3 sisi: visi, strategi, dan taktik. Contohnya, visi Mba Nana adalah menjadi media yang memberikan berita independen ke seluruh anak muda. Itu visi yang sangat jelas dan harus terus dipegang. Strateginya adalah menjadi independen melalui media digital. Sedangkan taktik adalah sesuatu yang dilakukan day-to-day. Namun, meskipun visi sama, strategi bisa terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Sama halnya dengan ketika East Ventures berinvestasi ke IDN Media, visi mereka jelas, yaitu menyasar Gen Z dan Millennial. Tugas East Ventures adalah menemukan orang-orang yang memiliki karakter yang jelas dan kuat, visi yang jauh, dan memberikan peluang melalui investasi. 

Najwa Shihab: Saya membangun Narasi 6 tahun lalu setelah menjadi wartawan politik selama 17 tahun. Meliput politik dan bencana memiliki tantangannya sendiri. Tapi saya selalu berkata bahwa 17 tahun pengalaman menjadi wartawan politik tidak ada apa-apanya dibanding beratnya jadi entrepreneur. Memang membutuhkan banyak partner kalau kita mau survive sebagai entrepreneur. Misalnya, dukungan East Ventures terhadap IDN Media. Ini krusial. Menurut saya, kunci entrepreneurship selain tujuan yang jelas adalah adanya drive dan grit, karena banyak sekali orang ingin melakukan yang sama dan setiap strategi bisa saja ditiru dan dicontek. Entrepreneur yang berhasil memiliki hunger untuk membuktikan bahwa mereka bisa berhasil. Saya merasa terbantu oleh pengalaman saya menjadi wartawan, karena kami terbiasa dituntut melakukan banyak hal. Jika kami ingin mendapatkan banyak informasi, kami harus mengenal banyak orang. Relasi dan networking adalah mata uang paling mahal untuk wartawan. Sama halnya dengan entrepreneurship. Semakin banyak jaringan yang kita miliki, semakin banyak potensi untuk berkolaborasi dengan pihak lain. Ketika menjadi entrepreneur, walaupun saya tidak memiliki pengalaman bisnis formal, saya mendapatkan kesempatan untuk bisa bertanya hal-hal yang tepat kepada orang-orang yang luar biasa di bidangnya. Kemampuan mengantisipasi banyak hal yang terus berubah juga merupakan keahlian yang saya dapatkan ketika menjadi wartawan.

Sekarang, banyak orang berkata bahwa dunia teknologi sedang melalui ‘tech winter.’ Apa pendapat Anda mengenai hal ini? 

Willson Cuaca: Saya akan bercerita sedikit tentang bagaimana uang bekerja. Uang akan pergi ke tempat yang bisa menghasilkan return tertinggi. Akibat naiknya suku bunga di Amerika, banyak uang yang diinvestasikan ke bond. Sementara, investasi di venture capital dan startup berkurang, karena mereka bersifat high risk, high gain. Sebenarnya, Indonesia tidak boleh selalu berpatokan pada negara lain, terutama negara-negara barat. Kita harus percaya bahwa Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia. Ini yang mendorong East Ventures untuk mengerjakan apa yang kami kerjakan. Siklus ekonomi terjadi dalam 10 tahun, tetapi siklus peradaban hanya terjadi setiap 100 tahun. Menurut saya, Indonesia sedang menuju puncak, karena demografi kita akan melesat sebentar lagi. Kita berada di tempat, waktu, dan usia yang tepat untuk menangkap peluang ini. Visinya adalah bahwa Indonesia harus menjadi besar. Strateginya adalah melalui digitalisasi. Jika kita bisa membuat sesuatu menjadi sepuluh kali lebih mudah dan murah, tentunya kita efisien. Jika kita efisien, kita akan lebih produktif. Ada 1 titik di mana negara-negara seperti China, Korea Selatan, dan Jepang mengalami pertumbuhan populasi.

Kita sudah melihat beberapa industri terdisrupsi selama 10-15 tahun ke belakang, contohnya e-commerce, logistik, payment, dan media. Apa selanjutnya? 

Willson Cuaca: Selalu ada cycle. Semua ekonomi digital di dunia selalu dimulai dengan consumer, bergerak ke B2B, masuk ke dalam enterprise, dan kembali lagi ke consumer. Indonesia baru melewati tren consumer dengan adanya Tokopedia dan Go-Jek. Pada akhirnya, semua pasar consumer teredukasi. Pada saat East Ventures berdiri, jumlah pengguna internet adalah 30 juta. Sekarang, ada 200 juta. Jadi, deltanya adalah 170 juta. Negara mana di dunia ini yang memiliki perbedaan sebesar itu? Jika ada investor yang bertanya mengapa mereka harus berinvestasi di Indonesia, saya akan menjawab dengan fakta ini. Jumlah penduduk harus besar sekali untuk menciptakan perbedaan sebesar itu. 

Apakah Mba Nana setuju dengan Willson, dan juga merasa optimis? 

Najwa Shihab: I’m cautiously optimistic. Optimis bukan berarti mempercayai semuanya akan seperti pelangi dan memiliki akhir yang bahagia. Menurut saya, optimis itu setia pada proses. Jika ada yang bagus, kita dukung. Jika buruk, kita lawan. Ada banyak hal yang perlu kita antisipasi, tapi juga ada banyak hal yang perlu kita sikapi secara hati-hati: bagaimana kita memastikan ruang-ruang publik tetap bisa tumbuh, bagaimana kita memastikan kekuasaan tidak inflasi, dan warga negara tidak semakin defisit. Bagaimana kita memastikan kesetaraan tercapai. Bagaimana kita bisa memastikan bukan hanya makan siang yang gratis, tetapi pendidikan bisa didapatkan dari ujung ke ujung. I share the same optimism. Tapi, saya juga merasa kita harus bisa berhati-hati dalam melihat banyak hal dan bukan berarti diartikan optimis, ya. Hati-hati atau kritis itu lawannya bukan pendukung yang membabi buta. Kita tetap optimis, tapi kita juga harus selalu memastikan suara-suara publik tetap bisa teramplifikasi, karena perspektifnya berbeda. 

Willson Cuaca: Mungkin saya mau menambahkan sedikit. Meski optimis, penting bagi kita untuk bergerak maju dengan berkualitas. Artinya, we leave no one behind. East Ventures selalu melakukan monitoring mengenai apakah digitalisasi sudah merata di Indonesia. Kami melakukan riset ke semua provinsi, kecamatan, dan kota untuk mencari tahu apakah digitalisasi meningkatkan taraf hidup banyak orang. Seperti yang Mba Nana katakan, progress yang penting adalah yang berkualitas dan bukan yang membabi buta. Saya rasa penting untuk membicarakan hal seperti ini, karena setiap orang memiliki pengalaman, perspektif, dan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang bergerak ke kanan dan ada yang bergerak ke kiri, tapi kita selalu melihat ke belakang dan membantu semuanya maju ke depan. Jadi, kekuatan kita itu bergerak sebenarnya. Jangan hanya mendengarkan dan membayangkan, tetapi langsung bergerak. 

Willson sering bercerita tentang “The Power of Three.” Boleh diceritakan apa makna dan manfaat konsep ini? 

Willson Cuaca: Dalam profesi saya, pekerjaan yang saya lakukan setiap hari sebenarnya hanya 1, yaitu membuat keputusan. Keputusan ini harus dibuat dengan sangat cepat. Jadi, kebanyakan keputusan yang benar yang kita ambil benar-benar intuitif. Contohnya, pada saat kita berinvestasi di IDN Media, hanya butuh 1-2 hari untuk saya mengambil keputusan. Begitu pula saat saya berinvestasi di Tokopedia, Traveloka, dan Ruangguru. 

Akhirnya, saya berpikir, bagaimana caranya kemampuan ini bisa ditransfer ke teman-teman East Ventures supaya mereka memiliki kemampuan yang sama, karena intuisi sebenarnya bisa dilatih. Akhirnya, saya menemukan formula dalam membuat keputusan. Saya membaginya menjadi 3 hal: data, mesin, dan output. Ada 3 macam data. Data dan informasi yang kita mengerti akan menjadi ilmu. Ilmu yang dipraktikkan akan menjadi wisdom. Ada 3 cara yang paling mudah untuk menyeleksi data. Pertama, data harus diproses dengan cepat. Kedua, data harus dikategorisasikan dengan benar. Ketiga, data mempunyai pattern dan kita tidak harus selalu berusaha mempelajari yang baru. Setelah data dikumpulkan, baru dimasukkan ke dalam mesin. 

Mesin pertama adalah ‘Pareto Principle.’ Jangan kerjakan semua hal, kerjakan 20% hal yang paling penting dalam hidup dan output yang Anda dapatkan akan 80%. Mesin berikutnya adalah ‘The Law of Diminishing Return.’ Jangan kerjakan sesuatu berulang-ulang, karena hasilnya akan sama. Ada titik di mana pengulangan harus diberhentikan. Mesin terakhir adalah ‘The Power of Three.’ Semua hal di dalam hidup saya, saya bagi jadi 3 karena saya suka nomor 3. 

Nomor yang paling penting adalah 1, karena 1 bersifat decisive. Yang lebih bagus dari 1 sebenarnya adalah nomor 2, supaya ada 2 pilihan. Tapi, terkadang hidup tidak sesimpel itu, maka dari itu kita harus punya 3 opsi. Lalu, ketika output sudah didapat, output ini harus dijaga dengan core value. Ada 3 core value di East Ventures. Pertama, integrity, artinya kita melakukan hal yang benar bahkan pada saat tidak ada orang yang melihat kita. Kedua, empathy. Apapun keputusan yang kita ambil, kita masih manusia dan harus berempati terhadap lawan bicara kita. Ketiga, excellence. Ini baru berkaitan dengan economic value dan menghasilkan uang. Kalau data dan mesin sudah benar dan output dijaga, mudah-mudahan keputusan yang diambil juga benar semua. 

Indonesia diproyeksikan akan menuju Indonesia Emas pada tahun 2045. Apa saja yang harus dipersiapkan oleh anak muda untuk menghadapi Golden Indonesia 2045?

Najwa Shihab: Mudah-mudahan persiapannya sudah dari sekarang, ya. Saya merasa terkadang 2045 itu dianggap sebagai angka tonggak acuan dan seolah-olah kita akan bangun dan segalanya akan bagus di tahun 2045. Yang saya khawatirkan adalah kalau kita tidak memulai itu dari sekarang, apa yang akan terjadi di 2045 sudah tercermin dari apa yang terjadi hari ini. Kita membayangkan generasi muda di 2045 jauh lebih agile dan bisa berkompetisi. Tetapi, itu semua harus dilakukan mulai sekarang dan seharusnya sudah bisa kelihatan sedikit wujudnya dari ruang-ruang kelas, ruang-ruang publik kita, dan ruang-ruang elit kita. Mari berkaca, apakah ruang-ruang kelas kita sekarang sudah memungkinkan? Jangan sampai 2045 tidak seindah yang dibayangkan. Jangan sampai ruang-ruang kelas kita tidak memungkinkan adanya perbedaan pendapat, hanya menitikberatkan hafalan, tidak mendorong adanya inovasi, dan bahkan mencap anak yang bertanya sebagai anak nakal. Hal terpenting adalah anak muda mau open-minded dan tidak gampang baper atau marah. Jika melihat sesuatu yang berbeda, jangan dianggap musuh. 

Biasakanlah melihat sesuatu dari berbagai perspektif. Ia mungkin benar dan saya mungkin salah. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Dunia berubah dengan cepat, kita butuh anak muda yang juga bisa berubah dengan cepat dan tidak lelah belajar. Yang diperlukan bukan kemampuan teknis untuk menguasai 1 isu, tetapi kesabaran dan ketelatenan untuk menjadi long life learner. Ketekunan untuk terus mau belajar menjadi kunci jika kita ingin survive di 2045. 

Willson Cuaca: Pertama, self-awareness. Artinya, kita mengerti kelebihan dan kelemahan kita. Kalau kita mengetahui kelebihan kita, kerjakan lebih banyak. Kalau kita mengetahui kelemahan kita, belajar. Orang dengan self-awareness yang tinggi pasti rendah hati, karena dia sadar apa yang bisa dan tidak bisa dia kerjakan. Lalu, orang ini pasti suka belajar. Percaya dengan proses. Tidak ada yang instan, seperti tadi yang Mba Nana katakan. Kedua, kegagalan adalah sukses yang tertunda. Jangan mudah menyerah. Ketiga, percaya dengan compounding effect. 1% perubahan yang Anda lakukan setiap hari akan menjadi 37 kali lipat di akhir tahun. Tidak ada yang instan, instan, dan instan. Yang ada hanyalah proses sedikit, sedikit, demi sedikit.