Insights
Menelusuri perkembangan dan peluang fintech di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, pendanaan ke sektor fintech meningkat secara signifikan. Antara tahun 2021 dan 2022, angka ini meningkat sebesar 83%, menunjukkan optimisme investor terhadap peluang di sektor ini.
Sektor fintech di Indonesia telah berevolusi secara dinamis, dimulai dengan inovasi dalam pembayaran online dan mengalami diversifikasi ke berbagai industri vertikal, menjangkau pasar yang belum dimanfaatkan di kota-kota tier 2 dan 3, dan menjawab kebutuhan finansial di ekosistem startup maupun Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Evolusi ini menyoroti kemampuan beradaptasi dan beragam inovasi dalam lanskap fintech di Indonesia.
Perjalanan fintech di Indonesia dimulai dengan fokus memfasilitasi pembayaran online, sebagai respons terhadap maraknya transaksi online dan e-commerce. Startup pionir seperti Xendit, salah satu perusahaan portofolio East Ventures di bidang fintech, secara signifikan membantu menyempurnakan arus pembayaran dan menyediakan infrastruktur pembayaran bagi perusahaan rintisan lokal dan regional.
Sebagai bagian dari evolusi digitalisasi transaksi tunai, beberapa pemain mulai menawarkan uang elektronik di dompet digital, seperti GoPay dari GoTo, OVO, dan pemain lainnya. Beberapa pihak telah mencoba menggabungkan terminal pembayaran di toko offline menjadi satu terminal atau menyediakan produk POS seluler, seperti Moka, yang juga didukung oleh East Ventures dan diakuisisi oleh Gojek pada tahun 2020, sebagai alternatif yang lebih murah dibandingkan sistem POS tradisional.
Kehadiran platform fintech juga mempercepat inklusi keuangan di kota-kota tier 2 dan 3, yang sebelumnya belum tersentuh infrastruktur pembayaran non-tunai. Misalnya, Kudo menawarkan solusi inovatif untuk pasar yang belum dimanfaatkan. Grab mengakusisi Kudo pada tahun 2017.
Sebagai pengikut perkembangannya dari awal dan turut berkontribusi di dalamnya, kami melihat fintech di Indonesia telah mencapai beberapa tonggak penting, seperti paparan di bawah ini.
Munculnya platform pinjaman online bagi konsumen
Dengan lebih dari 50% populasi orang dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank atau memiliki akses perbankan terbatas, platform pinjaman online (pinjol) muncul sebagai solusi untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Platform-platform ini, seperti Julo, berevolusi untuk menawarkan jalur kredit bergulir kepada konsumen dan kemudian menawarkan skema Beli Sekarang Bayar Nanti (Buy Now Pay Later/BNPL), yang memenuhi kebutuhan pasar Asia Tenggara. ShopBack juga menawarkan BNPL bagi konsumen selain produk kupon cashback mereka, dan PayLater dari Traveloka memungkinkan konsumen membeli tiket dan produk lainnya di aplikasi dan toko offline yang menjadi rekan Traveloka.
Transisi ke solusi perbankan digital untuk UKM dan Startup
Proporsi usaha kecil dan menengah (UKM) yang tidak mempunyai rekening bank (unbanked) dan memiliki akses fasilitas perbankan yang terbatas (underbanked) sama-sama besar. Startup pinjol telah mengembangkan model bisnis mereka dari model peer-to-peer yang sederhana menjadi perbankan digital, yang sering kali dicapai dengan mengakuisisi bank, atau mendapatkan izin Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) di Indonesia. Contohnya adalah KoinWorks, salah satu perusahaan portofolio East Ventures. Pergeseran strategis ini terutama dimotivasi oleh keinginan untuk menurunkan biaya dana (cost of fund) dan mengembangkan sumber pendanaan alternatif seiring dengan perluasan dana kelolaan (AUM) perusahaan-perusahaan tersebut dan bertujuan untuk mencapai margin bunga bersih yang lebih tinggi.
Startup di sektor ini juga melakukan diversifikasi dengan ruang lingkup yang lebih spesifik. Misalnya, Komunal yang fokus melayani Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia, dan saat ini bekerja sama dengan lebih dari 15% BPR di Indonesia. Hijra Bank (sebelumnya dikenal sebagai ALAMI) melayani sektor keuangan Islam. Sejumlah fintech juga menawarkan skema pembayaran gaji lebih awal (early wage access) kepada karyawan. Beberapa juga menawarkan solusi keuangan tertanam yang memungkinkan perusahaan non-fintech menyediakan beberapa bentuk produk pinjaman.
Selain itu, perusahaan-perusahaan di luar sektor fintech, yang telah memiliki basis pelanggan yang besar, sedang menjajaki peluang pemberian pinjaman. Misalnya, pemain teknologi di bidang otomotif biasanya menawarkan skema pinjaman dengan jaminanaset. Diversifikasi dan spesialisasi ini menggambarkan evolusi dinamis startup sebagai tanggapan terhadap kebutuhan dan peluang pasar.
Pada saat yang sama, beberapa startup fintech menyadari perlunya memenuhi kebutuhan startup lain, termasuk layanan pengiriman uang, manajemen arus kas, dan proses keuangan lainnya di perusahaan. Melihat potensi tersebut, East Ventures berinvestasi pada Jack (sebelumnya Transfez for Business), sebuah platform yang menjawab kebutuhan penting bagi startup: memperoleh kartu kredit korporasi untuk pengeluaran penting. Mengingat sejarah keuangan startup yang terbatas dan profitabilitas yang tidak menentu, mendapatkan kartu kredit korporasi sering kali merupakan sebuah tantangan, sehingga solusi Jack sangat berguna karena memudahkan dan melancarkan proses keuangan mereka.
Manajemen harta dan transaksi saham online
Sektor ini juga mengalami lonjakan pertumbuhan jumlah platform yang berpusat pada pengelolaan harta dan perdagangan saham online (e-trading), yang disesuaikan untuk demografi Milenial dan Gen Z. Perusahaan seperti Stockbit, yang menawarkan aplikasi Stockbit untuk e-trading dan aplikasi Bibit untuk produk robo-advisory, memperoleh daya tarik yang signifikan, terutama selama pandemi.
Perkembangan di bidang insurtech
Sektor insurtech telah berkembang luas, dengan banyaknya perusahaan yang melakukan diversifikasi model distribusi dan menggali lebih dalam rantai nilai. Mengikuti tren global di mana, pasar umumnya memulai dengan edukasi secara offline terhadap produk asuransi, Fuse telah menjadi pemimpin dalam bidang ini dengan memungkinkan agen asuransi untuk berkembang.
Saat ini, kami mengamati sektor ini mengeskplorasi bidang penjaminan emisi dan asuransi mikro untuk produk e-commerce di pasar.
Mengeksplorasi peluang baru dalam sektor fintech di Indonesia
Lanskap fintech di Indonesia menghadirkan peluang besar untuk dieksplorasi. Contoh utama adalah sektor kartu kredit, dimana penetrasinya masih rendah dan hanya berada di angka satu digit. Namun, sejarah menunjukkan bahwa seiring dengan berkembangnya perekonomian, penggunaan kartu kredit cenderung meningkat.
Pesatnya perkembangan solusi BNPL telah mengurangi eksistensi jalur kredit tradisional. Hal tersebut menunjukkan potensi fintech di pasar. Selain itu, menumbuhkan pemahaman tentang perubahan perilaku konsumen sekaligus melihat arah peraturan yang terus berkembang sangatlah penting.
Semakin maju dan baik infrastruktur yang ada, semakin kondusif lingkungan yang tersedia untuk memperluas penggunaan kartu kredit. Namun, kami mencatat bahwa kemampuan penilaian kredit, nilai ekonomi, dan tingkat toleransi risiko bank merupakan kondisi yang diperlukan agar pasar ini dapat tumbuh.
Tantangan menyeluruh di sektor fintech
Meski perkembangannya terlihat menjanjikan, sektor fintech Indonesia memiliki tantangan. Tantangan jangka pendek dan menengah yang perlu menjadi catatan adalah adalah meningkatnya biaya dana karena kondisi suku bunga yang tinggi dan meningkatnya pinjaman bermasalah (Non Performing Loan/NPL) seiring dengan pengetatan kredit di pasar.
Menurut McKinsey & Company, meningkatnya biaya dana memberikan tekanan pada margin perusahaan fintech, dengan rata-rata margin bersih menurun dari 10% pada tahun 2021 menjadi 8% pada tahun 2022.
Agar tetap dapat bertahan, perusahaan-perusahaan fintech tersebut ini harus berinovasi dan mengadopsi model bisnis berkelanjutan yang menjamin keberlangsungan perusahaan sekaligus meminimalkan potensi kerugian. Salah satu caranya adalah dengan mengurangi biaya dana melalui akses ke simpanan nasabah, meskipun masih terdapat tantangan dalam memperoleh nasabah dengan pendekatan dan nilai ekonomi yang tepat.
Tantangan lainnya termasuk biaya yang dikenakan kepada merchant/toko (merchant discount rate) yang biasanya lebih rendah dibandingkan layanan finansial yang serupa seperti pembayaran lewat mesin EDC, sehingga mengurangi margin bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) yang melayani di pasar tersebut. Oleh karena itu, kami mengamati perusahaan-perusahaan yang melayani di bidang ini untuk memiliki layanan yang berada dalam satu ekosistem,seperti peminjaman.
Ekosistem fintech yang beragam di negara-negara Asia Tenggara
Ekosistem fintech di Asia Tenggara sangat beragam, dimana masing-masing sektor tumbuh karena kematangan pasar, regulasi, dan permintaan konsumen yang unik. Infografik di bawah ini menunjukkan kemajuan dalam penetrasi asuransi, dinamika pengelolaan kekayaan, dan solusi pembayaran. Keberagaman tersebut mencerminkan peluang dan tantangan yang berbeda, dengan inovasi dalam pembayaran dan layanan kredit yang mengubah lanskap keuangan dan menciptakan lingkungan kompetitif yang unik di setiap negara.
Tips bagi para founder baru di sektor fintech
1. Selidiki seluk-beluk industri secara mendalam
- Sektor fintech bersifat dinamis dan memiliki banyak aspek, baik itu regulasi, pengguna (user), dan dinamika pasar. Para founder baru harus menginvestasikan waktu untuk memahami seluk beluknya agar dapat mengambil keputusan yang tepat.
2. Pentingnya kesadaran akan peraturan
- Industri fintech diatur secara ketat, dan setiap negara memiliki peraturan berbeda yang harus dipatuhi.
- Pemahaman terhadap peta jalan perizinan dan perspektif regulator sangatlah penting.
3. Pentingnya pengetahuan mengenai peraturan di berbagai pasar dan kecepatan dalam menanggapinya
- Selain memastikan kepatuhan, memahami perkembangan peraturan di berbagai pasar dapat membantu para founder mengantisipasi tantangan di masa depan.
- Kami melihat bahwa menanggapi perubahan peraturan menentukan jalur masa depan perusahaan di bidang yang sama. Rencanakan dan laksanakan lebih awal dari kompetitor Anda jika memungkinkan.
4. Pantau dengan cermat tingkat penerimaan bisnis Anda dan rencanakan dengan baik di masa depan
-
Tarif pembayaran dan akuisisi bisnis telah menurun seiring berjalannya waktu secara global.
- Volume atau nilai transaksi yang tinggi dengan tingkat penerimaan kini tak selalu dilirik investor. Unit ekonomi harus ada di sana.
5. Memiliki strategi rencana jangka panjang
- Mengingat sifat take rate yang terus berubah, para founder perusahaan harus memasukkan potensi risiko ini ke dalam strategi jangka menengah dan panjang mereka.
- Sikap proaktif dan mudah beradaptasi adalah kunci untuk tetap menjadi yang terdepan dalam permainan.
6. Variasi model bisnis berbasis geografi
- Model fintech yang sukses di AS dan Eropa kadang-kadang memberikan hasil yang berbeda di Asia Tenggara, sering kali karena masalah waktu (terlalu dini) dan ukuran pasar (terlalu kecil).
7. Kondisi pasar Asia Tenggara yang terus berkembang
- Pasar Asia Tenggara terus mengalami fluktuasi.
- Model bisnis yang mungkin tidak dapat dijalankan saat ini dapat berubah menjadi peluang yang menguntungkan di masa depan.
Oleh Yoshiharu Okubo, Principal East Ventures, dan Gavin Adrian, Investment Professional East Ventures