Digital economy
East Ventures

Share

13 November 2023

Insights

Ekonomi digital Indonesia akan lambat tumbuh saat harus tuai profit

Di tahun-tahun mendatang, Indonesia diperkirakan akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi digital. Hal ini sejalan dengan negara-negara berkembang lainnya di kawasan ASEAN karena perusahaan-perusahaan teknologi di kawasan ini menghadapi tekanan untuk memikirkan profitabilitas setelah bertahun-tahun fokus pada pertumbuhan.

Ekonomi digital Indonesia diproyeksikan akan mencapai US$109 miliar dolar Amerika dalam bentuk nilai penjualan kotor (GMV atau gross merchandise value) pada 2025. Hal tersebut berdasarkan laporan tahunan “e-Conomy Southeast Asia” yang terbit pada 1 November. Raksasa teknologi Google, Temasek yang berbasis di Singapura, dan firma riset yang berbasis di Amerika Serikat, Bain & Company berkontribusi dalam laporan tersebut. Angka yang tercantum dalam laporan lebih rendah dari $130 miliar yang diproyeksikan untuk periode yang sama pada laporan tahun 2022.

Menurut laporan tersebut, GMV Asia Tenggara diproyeksikan berada di angka US$295 miliar pada 2025. Proyeksi tersebut menunjukan penurunan dari perkiraan US$330 miliar di laporan sebelumnya.

GMV biasanya berfungsi sebagai indikator utama untuk menilai kesehatan sektor ekonomi digital, karena pendapatan bergantung pada biaya yang dibebankan atas barang dagangan yang terjual dalam periode waktu tertentu.

[…]

Southeast Asia digital economy outlook revised down

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan berada di kisaran 4,9% pada 2023 dan 2024. Menurut data Bank Dunia, pertumbuhan tersebut jauh lebih lambat dibandingkan dengan 5,3% pada tahun lalu.

[…]

Masalah pendanaan

Pendanaan swasta di Asia Tenggara mencapai titik terendah dalam enam tahun terakhir, di tengah tingginya biaya modal dan meningkatnya tekanan untuk beralih ke jalur profitabilitas, di antara faktor-faktor lainnya.

Dalam kasus Indonesia, pendanaan di negara ini menurun tajam di semua tahap sebesar 87 persen dari tahun ke tahun, menjadi sekitar US$0,4 miliar pada paruh pertama tahun ini (2023).

“Kami percaya tren pendanaan telah stabil pada level dasar. Sangat penting untuk memantau para pemimpin global, terutama di Amerika Serikat, untuk menilai apakah pasar sedang mencapai titik terendah atau statis,” ujar Managing Partner East Ventures Roderick Purwana.

Dana di Asia Tenggara telah menunjukkan tingkat pengembalian yang lebih rendah ketika diukur dengan modal disetor yang telah dibuat oleh para investor. Menurut laporan, Hal ini menunjukkan adanya kesulitan untuk menghasilkan pengembalian bagi para investor.

Kawasan ini menghasilkan pengembalian modal investasi sebesar 4 persen, untuk dana yang diluncurkan antara tahun 2016 dan 2018. Bandingkan dengan 40 persen di Amerika Serikat, 20 persen di Eropa, 10 persen di India, dan 50 persen di China.

Roderick, yang telah berinvestasi di pasar Indonesia sejak 2009, mencatat bahwa “sudah bukan hal yang mengherankan lagi” bagi para investor untuk melihat imbal hasil yang rendah. Tetapi, jika diukur dalam istilah internal rate of return (IRR), angka dasar (baseline) tersebut masih relatif tinggi. Menurutnya, sekitar 40 persen dari perusahaan-perusahaan portofolio East Ventures yang sedang berkembang mendapatkan laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA). Ia juga menambahkan bahwa beberapa portofolio telah menunjukkan jalur yang jelas menuju profitabilitas setelah tahun 2025.


Artikel asli telah diterbitkan di The Jakarta Post, pada Jumat, 10 November 2023, halaman 1 dan 11.