Avina Sugiarto, Partner at East Ventures
East Ventures

Share

28 Oktober, 2022

Insights

Investasi teknologi iklim adalah prioritas utama untuk mencapai emisi net zero

Mencapai emisi nol bersih (net zero) secara global pada tahun 2050 menjadi agenda penting untuk mengatasi perubahan iklim dan menyelamatkan planet kita, bumi untuk generasi mendatang. Suhu global telah meningkat 1,1°C sejak tahun 1901, karena kelebihan emisi dari pembakaran bahan bakar fosil. Dampak negatif perubahan iklim semakin nyata, seperti pola cuaca ekstrim dan naiknya permukaan air laut. Semua dampak tersebut mengancam seluruh spesies tumbuhan, hewan, bahkan populasi manusia. Selain itu, dampak perubahan iklim terhadap masyarakat di berbagai sektor saling terkait, seperti kesehatan yang memburuk, kerawanan pangan, dan meningkatnya biaya hidup.

Para ilmuwan memprediksi situasi akan memburuk jika suhu rata-rata global naik lebih dari 1,5°C. Oleh sebab itu, hampir semua negara telah menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 45% pada tahun 2030 dan mencapai net zero pada tahun 2050 dalam Perjanjian Paris. Saat ini, lebih dari 70 negara, termasuk penghasil emisi terbesar yang mencakup 76% emisi global – Cina, Amerika Serikat, dan Uni Eropa – telah menetapkan target untuk mencapai emisi net zero dan mengambil langkah-langkah pertama menuju dekarbonisasi.

Asia Tenggara adalah salah satu kawasan paling rentan di dunia terhadap perubahan iklim. Negara-negara kepulauan di Asia Tenggara menampung populasi pesisir besar yang akan terimbas langsung dari kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem. Perubahan iklim akan menggusur jutaan orang dan memiliki efek berbahaya pada pertanian, yang mempekerjakan sekitar setengah dari populasi wilayah tersebut. Delapan dari sepuluh negara Asia Tenggara berkomitmen untuk target net zero, termasuk Indonesia yang masuk dalam sepuluh besar penghasil emisi dunia. Komitmen ini harus diwujudkan dalam tindakan nyata dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan lintas perusahaan, investor, dan konsumen.

Investasi teknologi iklim tengah meningkat di Asia Tenggara. Mengutip Laporan Ekonomi Hijau Asia Tenggara 2022 oleh Temasek, Microsoft, Bain & Co, sebanyak US$ 15 miliar telah diinvestasikan oleh investor ke dalam ekonomi hijau sejak 2020, dengan sekitar 45% dialokasikan dalam tiga kuartal terakhir (dari Q3 2021 hingga Q1 2022). Selanjutnya, US$ 11 miliar telah dialokasikan oleh perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara, dengan fokus pada energi terbarukan dan tata kelola lingkungan.

Namun, ini masih merupakan investasi kecil dibandingkan dengan kesenjangan emisi dan investasi signifikan yang ada untuk memenuhi janji 2030. Ada sekitar tiga gigaton kesenjangan emisi dan membutuhkan investasi kumulatif sebesar US$ 3 triliun di Asia Tenggara untuk pembatasan kenaikan suhu sebesar 1,5°C pada tahun 2030.

East Ventures menggandakan dukungan investasi teknologi iklim

Sebagai perusahaan venture capital pertama di Indonesia yang menandatangani Prinsip untuk Investasi Bertanggung Jawab (PRI), didukung oleh PBB, East Ventures melihat urgensi untuk menggandakan dukungan investasi di bidang teknologi iklim dalam mendukung target Indonesia dan Asia Tenggara untuk mencapai emisi net zero.

Momentum tersebut diwujudkan dalam nilai investasi oleh private equity dan investor venture capital di kawasan yang berfokus pada keberlanjutan, dengan fokus pada startup yang mengembangkan solusi generasi berikutnya.

Dalam mengatasi krisis iklim, East Ventures memiliki sejumlah perusahaan portofolio dalam teknologi iklim dan akan terus berinvestasi dalam solusi iklim. Kami melihat banyak peluang di sektor ini, dengan pertumbuhan kumulatif sekitar 13 kali lipat jumlah startup yang didirikan, dari tahun 2015 hingga 2021. Sebagian besar startup masih dalam tahap awal, dan membutuhkan lebih banyak modal dan dukungan untuk tumbuh. Sebuah momentum bagi East Ventures untuk meningkatkan investasi dan memberi nilai tambah menuju pencapaian netral karbon.

Ada beberapa sektor teknologi iklim yang kami yakini berkontribusi pada pengurangan dan mitigasi GRK.

  1. Solusi alam & ekosistem karbon 

Menurut International Union for the Conservation of Nature (IUCN), solusi berbasis alam didefinisikan sebagai tindakan untuk melindungi, mengelola dan memulihkan ekosistem alami dan yang dimodifikasi secara berkelanjutan untuk mengatasi tantangan sosial secara efektif dan adaptif untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan manusia dan keanekaragaman hayati. 

Solusi ini dapat mencakup kehutanan, lahan gambut, pengamatan mangrove, air, pengemasan berkelanjutan, dan beberapa ekosistem karbon. Survei global 2018 mengungkapkan bahwa bisnis yang fokus pada reboisasi dan penanaman pohon melihat pendapatan tumbuh sepuluh kali lipat setiap tahun.

Sementara itu, Indonesia memiliki hutan tropis terluas kedua di dunia dan merupakan pasar potensial untuk solusi berbasis alam. Menurut laporan tersebut, solusi berbasis alam di Asia Tenggara berpotensi menghasilkan pendapatan tahunan sebesar US$ 20 miliar pada tahun 2030. Selain itu, pajak dan perdagangan karbon, yang kemungkinan akan diterapkan pada tahun 2025 untuk semua perusahaan, akan membuka peluang investasi bagi investor dan startup yang menawarkan solusi berbasis alam ini.

  1. Pangan dan pertanian berkelanjutan 

Di saat populasi global terus tumbuh dan perubahan pola makan mendorong kebutuhan makanan, mengamankan produksi merupakan tantangan karena hasil panen turun di banyak bagian dunia akibat degradasi sumber daya alam, termasuk tanah, air, dan keanekaragaman hayati. FAO menyatakan 8,9% dari populasi global atau hampir 690 juta orang mengalami kelaparan. Hanya dalam lima tahun, kelaparan di dunia telah meningkat sebanyak 60 juta orang. Pertanian merupakan aspek yang kompleks dalam perubahan iklim. Sektor ini terimbas langsung dampak perubahan iklim tetapi juga merupakan penyumbang yang signifikan. Sebagai contoh, penanaman padi merupakan sumber emisi GRK terbesar kedua  dalam pertanian pangan. Budidaya padi ini berkontribusi hingga 33% emisi metana Asia Tenggara, dengan potensi pemanasan global metana yang 80 kali lipat lebih tinggi dari karbon dioksida. Kehilangan dan pemborosan makanan juga merupakan masalah ketahanan pangan dan menyebabkan kerusakan  lingkungan.

Investasi dalam sistem pangan dan startup yang berfokus pada pertanian berkelanjutan sangat penting untuk mengatasi masalah ini. Platform layanan petani dan pertanian presisi adalah peluang paling menarik karena dukungan regulasi dan target pasar yang sangat besar dengan kesiapan adopsi. Pertanian presisi menggunakan teknologi untuk membantu petani meningkatkan hasil panen dan keuntungan. Kedua bisnis vertikal ini diperkirakan akan mendorong tambahan pendapatan US$ 8-16 miliar dari peningkatan hasil panen.

Di sektor ini, perusahaan portofolio agritech East Ventures, ARIA, dapat mendukung petani untuk meningkatkan produktivitas dan menghemat biaya melalui teknologi drone. Misalnya, menyiram lahan dengan sistem manual atau tradisional biasanya memakan waktu 2-4 minggu, tetapi menggunakan solusi ARIA, penyiraman lahan yang sama hanya membutuhkan waktu 20 menit. Selain ARIA, East Ventures juga berinvestasi di TreeDots, marketplace untuk makanan berlebih dan pasokan makanan tidak sempurna, menangani masalah kehilangan dan pemborosan makanan selama distribusi.

  1. Energi terbarukan

Energi terbarukan (matahari dan angin) adalah salah satu metode pengurangan karbon terbaik di Asia Tenggara. Tenaga surya akan menjadi hal terbesar dari transisi energi, dengan estimasi pendapatan tahunan sebesar US$ 20 miliar pada tahun 2030 dan US$ 10 miliar untuk energi angin. Selain matahari dan angin, beberapa energi terbarukan muncul dan menjadi alternatif, antara lain panas bumi, bioenergi, dan tenaga air.

Di bidang energi surya, East Ventures telah berinvestasi di Xurya sejak tahap awal. Xurya, startup energi terbarukan Indonesia yang fokus pada penyewaan panel pembangkit listrik tenaga surya, baru-baru ini menerima tambahan pendanaan seri A, dengan total US$ 33 juta menyusul pendanaan tersebut.

  1. Solusi perkotaan dan mobilitas

Kenaikan air laut mengancam ratusan kota dan masyarakat, termasuk ibu kota di Asia Tenggara. Jakarta di Indonesia, Bangkok di Thailand, dan Kota Ho Chi Minh di Vietnam termasuk kota yang paling terkena dampak. Secara global, World Bank memperkirakan bahwa lebih dari separuh populasi dunia tinggal di kota, di mana lebih dari dua pertiga energi dunia dikonsumsi, sehingga  menghasilkan lebih dari 70% emisi CO2 global.

Saat ini, tidak setiap populasi mampu memiliki kualitas hidup yang baik di kota; jutaan orang tinggal di tempat-tempat yang rentan di sepanjang tepi sungai, kanal, lereng bukit, dan daerah yang akan terkena dampak berbahaya dari kerusakan lingkungan.

Untuk mengurangi risiko krisis iklim, perlu penguatan sistem kota atau yang disebut ketahanan perkotaan melalui pembangunan solusi perkotaan. Beberapa solusi adalah solusi energi distrik, produk bangunan hijau, kendaraan listrik, manajemen lalu lintas waktu nyata, sistem air, pengelolaan limbah, dan teknologi lainnya yang memungkinkan kota menjadi lebih efisien dan mengurangi kontribusi terhadap pemanasan global.

East Ventures telah berinvestasi dalam startup pengelolaan sampah, Waste4Change, yang telah mengelola lebih dari 8.400 ton sampah sebagai solusi perkotaan.

Penggerak dan tantangan utama dalam teknologi iklim 

Beberapa orang percaya bahwa investasi teknologi iklim mungkin bersifat sementara, sebagaimana tercermin dalam beberapa startup teknologi hijau yang gagal atau bangkrut dalam dekade terakhir. Namun, kondisi hari ini berbeda dengan masa lalu. Pertama, biaya teknologi untuk solusi hijau telah turun secara signifikan yang membuat mereka layak secara komersial saat ini dibandingkan dengan lima belas tahun yang lalu. Misalnya, harga sistem fotovoltaik perumahan telah turun lebih dari 70% dari sepuluh tahun yang lalu, menelan biaya sekitar US$ 50.000.

Komitmen seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan kelompok bisnis, menuju net zero, semakin nyata dan didorong secara ilmiah, antara lain dalam bentuk target dalam Nationally Determined Contributions (NDC) dan Science-based Targets Initiatives (SBTIs). Kami percaya bahwa kolaborasi dan saling memberikan dukungan dapat memajukan inovasi dan adopsi solusi teknologi iklim di kawasan ini.

Faktor pendorong lainnya adalah perubahan pola pikir konsumen, khususnya generasi milenial dan GenZ, yang menuntut produk dan layanan ramah lingkungan karena mereka menjadi lebih peduli terhadap iklim. Pandemi COVID-19 juga meningkatkan kekhawatiran akan kesehatan dan perlindungan lingkungan untuk generasi sekarang dan mendatang.

Terlepas dari dukungan tersebut, bisnis teknologi iklim perlu menemukan cara untuk membuat solusi mereka lebih selaras secara komersial dengan yang sudah ada. Banyak yang masih beranggapan bahwa menjadi berkelanjutan atau ramah lingkungan membutuhkan premi. Meskipun hal ini masih berlaku dalam banyak kasus, tujuannya adalah membuat solusi menjadi lebih terjangkau, terukur, dan efisien. Oleh karena itu, teknologi iklim harus menawarkan solusi yang tidak hanya berkontribusi positif terhadap ketahanan iklim tetapi juga membantu pelanggan atau bisnis mengurangi biaya dan meningkatkan hasil. Solusi dan peluang paling menarik adalah jika startup mampu mengganti layanan atau produk yang sudah ada (incumbent) dengan solusi yang lebih berkelanjutan dengan harga terjangkau.

Sebagai pelopor dalam investasi venture capital di Indonesia, pasar terbesar di Asia Tenggara, East Ventures akan terus mengeksplorasi peluang investasi di bidang teknologi iklim dan memperkuat komitmen kami dalam mencapai masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

***

By Avina Sugiarto, Partner at East Ventures