Xurya renewable energy solar panel matahari
East Ventures

Share

22 April 2025

Insights

Xurya: Pelopor transformasi energi berkelanjutan melalui panel surya

Di negara kepulauan Indonesia dengan sinar matahari yang melimpah, tersimpan sebuah tantangan besar yang sering terlupakan: keterbatasan akses terhadap energi besih dan berkelanjutan.  

Meski kaya akan sumber daya alam, Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil yang terbatas, dimana mayoritas listriknya berasal dari batu bara dan minyak bumi.

Mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil adalah langkah krusial untuk melindungi kesehatan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan. Polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil meningkatkan risiko penyakit pernapasan yang serius, sementara emisi karbon dioksida dari penggunaan batu bara menjadi penyebab utama pemanasan global.

Pemerintah, bersama para pemangku kepentingan terkait, terus mencari solusi untuk mencapai target ‘Net Zero Carbon’ pada tahun 2060. Salah satu strategi utamanya adalah mengadopsi energi berkelanjutan.

Secara geografis, Indonesia diberkahi dengan sumber daya energi terbarukan yang melimpah seperti angin, panas bumi, dan tenaga surya. Di antara ketiganya, energi surya memiliki potensi terbesar sebagai energi masa depan karena iklim tropis dan sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun.

Potensi tenaga surya yang tersimpan di Indonesia diperkirakan mencapai hingga 500 GW. Namun, hingga tahun 2022, baru sekitar 13 GW yang berhasil dimafaatkan oleh pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.

Salah satu perusahaan yang berkontribusi signifikan dalam percepatan adopsi energi surya di kalangan pelaku bisnis adalah Xurya, yang merupakan salah satu perusahaan portofolio investasi East Ventures.

Selain mendorong pertumbuhan industri panel surya, Xurya juga menghadirkan inovasi yang membantu pemilik bisnis menurunkan biaya energi sekaligus meningkatkan efisiensi operasional.

Awal mula perjalanan Xurya

Didirikan pada tahun 2018 oleh Eka Himawan, Edwin Widjonarko, dan Philip Effendy, Xurya telah menjadi role model dalam industri energi panel surya di Indonesia. Perusahaan ini menawarkan solusi lengkap, mulai dari pembiayaan dan desain rekayasa hingga instalasi dan operasional di berbagai wilayah di Indonesia.

Ide untuk mendirikan perusahaan energi terbarukan dari panel surya telah ada di benak Eka dan Edwin sejak tahun 2007. Keduanya memiliki latar belakang di sektor energi surya: Eka bekerja di pengelola dana lindung nilai (hedge fund) yang berinvestasi dalam teknologi panel surya, sementara Edwin merupakan peneliti yang mengkhususkan diri pada panel surya. Namun, rencana tersebut sempat tertunda karena mereka melanjutkan karier masing-masing.

“Sekitar sepuluh tahun kemudian, saya telah bekerja di berbagai sektor keuangan, sementara Edwin bekerja di Intel. Pada tahun 2017, kami bertemu kembali dan merasa bahwa saat itu adalah waktu yang tepat bagi energi panel surya untuk berkembang di Indonesia. Saat itulah kami memulai perjalanan ini. Kemudian, Philip bergabung untuk mendukung sisi operasional bisnis,” jelas Eka.

Kekhawatiran mereka terhadap perubahan iklim dan kebutuhan mendesak akan solusi energi bersih serta berkelanjutan di Indonesia akhirnya menjadi dorongan utama di balik pendirian startup climate tech ini.

Xurya telah mengalami kemajuan luar biasa di berbagai bidang. Mulai dari adopsi energi surya, pengembangan sumber daya manusia hingga inovasi teknologi. 

Sampai saat ini, Xurya telah mengembangkan kapasitas tenaga surya menjadi lebih dari 100 MW melalui hampir 200 proyek di berbagai wilayah, seperti Pulau Jawa, Medan, Makassar, Palembang, dan Bali. 

Melalui sistem penyewaan panel surya tanpa biaya di muka yang inovatif, Xurya telah membantu lebih dari 100 perusahaan beralih ke energi surya dan berkontribusi terhadap upaya Indonesia dalam mengurangi emisi karbon.

Kolaborasi menjadi kunci dari keberhasilan ini. Xurya menjalankan proyeknya secara efisien dengan bekerja sama dengan lebih dari 150 mitra lokal Engineering, Procurement, and Construction (EPC). Sebagai bagian dari misi strategisnya, perusahaan ini juga berkomitmen untuk memberdayakan talenta lokal dan membangun ekosistem yang mendukung transisi energi nasional.

Komitmen ini tercermin dalam kerja samanya dengan komunitas, institusi akademik, dan organisasi swasta dalam menyelenggarakan program pelatihan teknis. Selain itu, Xurya juga merupakan anggota pendiri dari Solar Academy Indonesia.

“Saya yakin bahwa kolaborasi dapat mempercepat adopsi energi matahari di Indonesia. Melalui sinergi dengan mitra dan pemangku kepentingan lainnya,kita tidak hanya akan mencapai target energi kita, tetapi juga memberikan dampak ekonomi dan lingkungan yang jauh lebih besar,” ujar Eka.

Pengembanngan produk juga menjadi tonggak penting lainnya bagi Xurya. Dimana perusahaan ini menjadi pelopor dalam penerapan teknologi Internet of Things (IoT) untuk pemantauan dan pengelolaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) jarak jauh, serta dalam pemanfaatan machine learning untuk mengoptimalisasi kinerja sistem. Inovasi-inovasi ini meningkatkan efisiensi energi sekaligus meningkatkan keandalan dan keamanan instalasi panel surya bagi pengguna.

Lebih jauh lagi, Xurya tengah mengeksplorasi penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) untuk mendorong kemajuan teknologinya. 

“Kami saat ini sedang mengembangkan sistem machine learning kami menjadi AI. Dengan AI, kami bisa melangkah lebih jauh dalammengidentifikasi kesalahan, mendiagnosis penyebabnya, dan menyarankan solusi yang tepat. Sehingga, operator  hanya perlu bertugas untuk mengeksekusinya,” jelas Eka.

Tantangan transisi energi di Indonesia

Beberapa orang mengatakan tidak ada bisnis yang tanpa tantangan. Perjalanan menuju posisi Xurya saat ini tidaklah mudah dan banyak tantangan yang telah dihadapi.

Pada tahap awal, Xurya mengalami tantangan besar seperti rendahnya kesadaran pasar di kalangan pelaku usaha di Indonesia mengenai energi terbarukan, panel surya, dan konsep model bisnis tanpa biaya di awal penggunaan. Ketika itu, sebagian besar pemilik bisnis memilih listrik konvensional karena dianggap paling mudah dan andal.

Di sisi lain, panel surya masih dipandang sebagai teknologi yang mahal untuk diadopsi dan lebih sulit perawatannya, serta baru sedikit perusahaan yang menawarkan solusi energi panel surya di Indonesia.

“Tantangan awal dimulai pada tahun 2018. Saat itu belum  banyak yang peduli tentang Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST / Environmental, Social, and Governance atau ESG),  pelaku bisnis masih skeptis dan menganggap panel surya seperti teknologi yang asing,” terang Eka.

Alih-alih melihat hal ini sebagai hambatan, tim Xurya melihatnya sebagai peluang untuk membangun kepercayaan. Mereka menyederhanakan transisi ke energi surya dengan model bisnis tanpa biaya awal, sehingga lebih mudah bagi pelaku bisnis komersial dan industri untuk mengadopsi energi terbarukan ini.

Di saat yang sama, mereka berinvestasi besar dalam edukasi pasar dan menyediakan konsultasi yang dipersonalisasi untuk menunjukkan manfaat jangka panjang tenaga surya, baik dari sisi lingkungan maupun keuangan.

Hingga saat ini, pembangkit listrik tenaga surya yang dioperasikan Xurya untuk lebih dari 100 klien korporasi di Indonesia telah menghasilkan sekitar 164 juta kWh energi bersih setiap tahun atau setara dengan pengurangan emisi karbon sekitar 146.645 ton CO2 per tahun.

Kedepannya, Xurya berencana untuk semakin meningkatkan adopsi panel surya melalui perluasan kolaborasi dengan sektor publik dan swasta.

“Saat ini kami sedang merencanakan penjualan listrik dari panel surya kami ke PLN. Selain itu, kami juga memiliki strategi bernama solusi off-grid atau micro-grid, di mana panel surya dipasang di lokasi tambang dan resort untuk menggantikan generator diesel sebagai sumber listrik. Kami menargetkan untuk menggantikan hingga 80% penggunaan diesel dengan energi surya,” jelas Eka.

Menyusul kesuksesan Climate Impact Innovations Challenge (CIIC) edisi 2024, dimana terdapat  lebih dari 500 pendaftar dari 50 negara di seluruh dunia, East Ventures dan Temasek Foundation kembali menghadirkan CIIC 2025 untuk memberdayakan para inovator teknologi menampilkan solusi berkelanjutan mereka.

Tahun ini, Transisi Energi kembali menjadi salah satu dari tiga fokus utama kompetisi ini. Para peserta akan bersaing memperebutkan total hadiah sebesar Rp10 miliar untuk memperkenalkan solusi mereka di Indonesia untuk menghadapi berbagai tantangan ekologis dan mengurangi dampak perubahan iklim.

“Ada peluang besar di sini. Banyak orang mengatakan perubahan iklim adalah tantangan seumur hidup, tapi saya lebih suka menganggapnya sebagai kesempatan seumur hidup,” ujar Eka. 

“Alih-alih melihatnya sebagai climate change, lihatlah ini sebagai climate chance. Ini adalah momen kita untuk mengubah apa yang telah kita hasilkan ke dunia selama 70 hingga 100 tahun terakhir. Jika kita tidak bertindak sekarang, mungkin kita tidak akan mendapatkan kesempatan lagi.”

Jika Anda adalah inovator di bidang teknologi yang memiliki solusi tentang perubahan iklim, daftarkan inovasi Anda di sini.