Navigating trade shocks in a shifting global order
East Ventures

Share

24 Juli 2025

Insights

Kesepakatan tarif AS-Indonesia: Bagaimana pelaku bisnis menavigasi dinamika perdagangan global

Minggu lalu, Indonesia telah menandatangani tidak hanya satu, tetapi dua kesepakatan dan perjanjian perdagangan: penurunan tarif Amerika Serikat (AS) dan IEU-CEPA (Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa), yang masih menjadi perbincangan masyarakat.

Perlu dicatat, melalui perjanjian tersebut, kesepakatan tarif AS-Indonesia kini turun dari 32% menjadi 19%. Hal ini menempatkan Indonesia dalam kelompok tarif terendah untuk ekspor ke AS di antara negara-negara ASEAN.

Di sisi lain, perjanjian IEU-CEPA menghapuskan bea masuk untuk lebih dari 90% produk ekspor Indonesia ke Eropa dengan menerapkan tarif 0%.

Penurunan tarif ini dapat menciptakan momentum positif bagi pasar keuangan Indonesia karena memberikan kepastian bagi para investor dan pelaku bisnis.

Secara keseluruhan, hal ini diharapkan dapat mendukung prospek ekonomi Indonesia, termasuk prospek pertumbuhan, stabilitas pasar keuangan, efektivitas kebijakan moneter, dan ketahanan mata uang.

Lebih lanjut, kami akan membahas mengenai kesepakatan tarif AS-Indonesia dan bagaimana kesepakatan ini berpotensi memberikan manfaat nyata bagi perekonomian Indonesia dengan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas negara.

Perjanjian perdagangan baru ini tidak hanya memberikan akses yang lebih besar kepada perusahaan-perusahaan Indonesia ke pasar AS, tetapi juga menarik investasi baru dari AS di berbagai sektor dalam negeri.

Dalam konteks ini, perjanjian tarif AS-Indonesia dapat menjadi momentum untuk memperkuat ekosistem produksi dalam negeri, yang membuka jalan ekspor bagi Indonesia, mulai dari bahan mentah sampai produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, kesepakatan terbaru ini harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk memaksimalkan peluang yang semakin besar bagi Indonesia dengan AS.

East Ventures, sebagai salah satu pelopor investasi dalam ekosistem startup di Indonesia dan pendukung perusahaan teknologi di Asia Tenggara, menyadari potensi bisnis dalam memanfaatkan teknologi untuk mendorong pertumbuhan dalam dunia perdagangan yang terus berkembang.

Pendekatan strategis untuk perdagangan dan ketahanan rantai pasokan di Asia Tenggara

Perubahan signifikan dalam perjanjian perdagangan antara AS dan negara-negara lain telah menciptakan pasar yang dinamis dan memicu perbincangan bagi para pelaku bisnis. Dunia perdagangan yang terus berkembang ini membawa peluang dan tantangan baru yang membentuk masa depan perdagangan internasional. 

Pada salah satu panel East Ventures Summit 2025 yang diselenggarakan bulan Mei lalu, kami berkesempatan untuk berbincang dengan Wei Liang Chang, FX and Credit Strategist DBS, bersama Sang Han, Partner East Ventures South Korea Fund sebagai moderator. Kami membahas strategi yang efektif untuk menavigasi dinamika perdagangan di tengah tatanan global yang sedang kian berubah.

Ketika membahas perdagangan, rantai pasokan menjadi salah satu aspek yang paling penting untuk dipertimbangkan. 

Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang kritis seperti: Seberapa rentan rantai pasokan terhadap tegangan geopolitik? Apakah ada risiko ketergantungan terhadap satu negara? Apakah ada pemasok alternatif yang memadai untuk memastikan ketahanan rantai pasokan?

Setelah diumumkannya tarif baru oleh AS, ada pergeseran yang signifikan dalam dunia perdagangan akibat pengaruh realita geopolitik. Menanggapi meningkatnya ketidakpastian global, pelaku bisnis perlu melakukan diversifikasi dan memperbanyak alternatif pemasok dari negara lain untuk memitigasi risiko.

Dalam konteks ini, banyak perusahaan mengadopsi strategi “China Plus One”, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada satu sumber dengan memperluas basis pemasoknya dengan ke negara lain.

“Perdagangan bukanlah permainan ‘winner-takes-all’. Perdagangan adalah skenario ‘win-win’. Dengan berdagang, negara-negara akan bisa mendapatkan bagian yang lebih besar. Dan sebenarnya, ini hanyalah cara untuk membagi secara adil,” kata Wei Liang Chang.

Hal ini menitikberatkan bahwa kesepakatan perdagangan memiliki dampak yang lebih luas di luar pertimbangan rantai pasokan, seperti pengaruh kepada mata uang domestik, kepemilikan asing atas obligasi pemerintah, dan ketertarikan investor di wilayah tersebut.

Terlepas dari semua tantangan dalam dunia perdagangan yang sedang mengalami pergeseran ini, ada beberapa strategi yang telah terbukti dapat membantu mendorong pertumbuhan dan investasi di masa-masa seperti ini.

Sebagai contoh, mendorong lebih banyak kemitraan antara pemerintah dan swasta dapat menarik modal tambahan dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Dengan berkurangnya hambatan non-tarif dan tarif saat ini, konektivitas regional dapat ditingkatkan, lalu dikombinasikan dengan upaya untuk menyelaraskan regulasi seputar e-commerce, perdagangan, dan investasi.

Hal ini akan membuat negara-negara Asia Tenggara menjadi lebih “menarik” sebagai destinasi investasi global.

Lebih lanjut, Wei Liang Chang menekankan, “Ada juga potensi bagi pemerintah untuk mendorong lebih banyak investasi untuk solusi berbasis teknologi yang dapat mendorong pertumbuhan dalam ekosistem teknologi. 

Itu adalah salah satu area yang lebih kebal dari tekanan perdagangan, dan juga merupakan ruang untuk pertumbuhan; terutama di area software dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI), dan menurut saya, juga investasi energi terbarukan.”

Kesimpulannya, menavigasi risiko rantai pasokan di Asia Tenggara membutuhkan diversifikasi yang strategis, penyelarasan regulasi, serta inovasi yang dapat membuka prospek pertumbuhan baru dalam lingkungan perdagangan global yang begitu dinamis.

Meraih peluang bagi bisnis Indonesia di tengah pergeseran perdagangan global

Kesepakatan tarif AS-Indonesia dan juga antara Indonesia dengan Uni Eropa menandakan terbitnya babak baru yang menjanjikan bagi bisnis di Indonesia.

Dengan turunnya tarif dan meluasnya akses pasar, perusahaan-perusahaan memiliki peluang yang lebih besar untuk memperluas jangkauan, menarik investasi, dan memperkuat peran mereka dalam rantai nilai global (global value chain atau GVC).

Lebih dari sekadar memasuki pasar ekspor baru; para pelaku bisnis juga diharapkan dapat memposisikan bisnis mereka untuk mengambil peran aktif dalam dunia perdagangan yang sedang berubah.

Sektor-sektor seperti teknologi, energi terbarukan, dan manufaktur, dapat disebut sebagai area pertumbuhan yang relatif tidak terpengaruh oleh tekanan perdagangan tradisional. Investasi dan inovasi di bidang AI, teknologi dan energi bersih juga hadir sebagai jalan yang menarik bagi para founder.

Beberapa langkah penting yang dapat diambil oleh pelaku bisnis di Indonesia untuk menavigasi era perdagangan yang baru ini:

  1. Jadikan kondisi makro-ekonomi sebagai potensi untuk inovasi
  2. Manfaatkan teknologi—seperti AI dan machine learning—untuk mempercepat pertumbuhan bisnis
  3. Bangun kemitraan dan jaringan regional yang lebih kuat
  4. Fokus pada produk yang berkelanjutan dan bernilai tambah tinggi
  5. Ikuti perkembangan kebijakan perdagangan 

Singkatnya, dalam ekonomi global yang terus berkembang ini, bisnis Indonesia yang telah beradaptasi dengan kerangka kerja perdagangan (trade framework) yang kian berubah akan berada di posisi terbaik untuk berkembang.

Sebagai perusahaan modal ventura (venture capital atau VC) yang terbuka pada seluruh sektor (sector-agnostic) dan pelopor investasi di Asia Tenggara, East Ventures tetap berkomitmen kuat dan siap mendukung para founder startup untuk “menentang gravitasi” (defying gravity) dan mengatasi berbagai tantangan untuk membuktikan bahwa dunia teknologi Asia Tenggara mampu bersaing.

Jika Anda adalah seorang founder yang siap untuk mengembangkan bisnis Anda, kirimkan pitch Anda di sini.