EV DCI Indonesia digital economy doubles in global uncertainty
East Ventures

Share

4 Juli 2025

EV-DCI

Ekonomi digital Indonesia tumbuh dua kali lipat di tengah ketidakpastian global

Laporan terbaru East VenturesDigital Competitiveness Index (EV-DCI) 2025 menyebutkan ekosistem digital Indonesia tetap berkembang di tengah ketidakpastian global.

Riset dari East Ventures bersama Katadata Insight Center (KIC) menyampaikan optimisme tentang transformasi digital Indonesia yang akan tetap melaju, dengan didukung kenaikan transaksi online dan adopsi teknologi terkini, termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Laporan yang dirilis pada Mei 2025 ini mengutip data dari Tracxn yang menyebut investasi ke startup teknologi Indonesia turun 75% menjadi US$323 juta pada 2024 dari US$1,3 miliar pada tahun sebelumnya. Penurunan itu disinyalir karena ketidakpastian ekonomi global yang membuat investor lebih selektif dalam berinvestasi.

Meski demikian, ekonomi digital Indonesia terus tumbuh dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya, didorong oleh adopsi teknologi digital yang berkelanjutan dan meningkatnya transaksi daring. 

Hal itu tercermin dalam laporan e-Conomy SEA 2024 yang menyatakan total nilai barang yang terjual selama periode waktu tertentu  Gross Merchandise Value (GMV) oleh sektor digital Indonesia diproyeksikan mencapai US$90 miliar pada 2024, atau meningkat sebesar 13% dari tahun sebelumnya. Sementara, angka pertumbuhan GMV pada 2023 mencapai 6% secara tahunan.

Sektor e-commerce masih menjadi kontributor terbesar bagi ekonomi digital Indonesia, dengan US$65 miliar dalam proyeksi 2024, tumbuh dari US$58 miliar dan US$59 miliar di 2022 dan 2023.

Menurut laporan yang sama, tren tersebut menunjukkan ekonomi digital menjadi andalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kontribusi ekonomi digital sendiri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini mencapai kisaran 4-5%. Pemerintah menargetkan kontribusi tersebut mencapai 20% dari PDB pada 2045. Dengan begitu, ekonomi digital di masa mendatang berpeluang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Meski tidak sampai memicu resesi ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina akan memicu ketidakpastian dan dapat meningkatkan risiko tekanan terhadap pasar keuangan.

Office of Chief Economist (OCE) Bank Mandiri mengungkap tarif resiprokal, misalnya, membatasi pasokan dolar AS, memperbesar potensi keluarnya modal asing dari pasar saham dan obligasi, serta menekan nilai tukar rupiah.

Transformasi digital yang inklusif

Riset EV-DCI menyebutkan ekonomi digital tidak hanya berbicara mengenai percepatan pertumbuhan, tetapi bagaimana manfaatnya dapat dirasakan secara inklusif oleh seluruh masyarakat.

Laporan tersebut juga menggarisbawahi empat isu yang menjadi tantangan dalam pengembangan transformasi digital inklusif. Contohnya, laju inovasi yang belum diiringi kepastian hukum.

Pertama, regulasi yang belum memadai dalam merespons perkembangan teknologi dan inovasi terkini. Contohnya Indonesia belum memiliki peraturan soal keamanan siber dan tata kelola AI. Lalu, implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi belum efektif karena peraturan turunannya yang belum disahkan.

Kedua, ketimpangan akses dan kualitas internet di berbagai wilayah. Laporan ini menyoroti pentingnya peran sektor swasta dan masyarakat dalam membangun infrastruktur konektivitas, seperti listrik, jaringan internet termasuk 5G, dan pusat data.

Ketiga, jumlah talenta digital belum cukup memenuhi kebutuhan perkembangan transformasi digital nasional. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyebutkan talenta digital yang bisa dicetak hanya mencapai 7 juta dengan perkiraan kebutuhan sembilan juta orang pada 2030.

Karena itu, riset tersebut menyoroti perlu adanya upaya penyelarasan kurikulum dan kompetensi di bidang pendidikan, pemberian akses pelatihan digital di daerah, penyediaan portal informasi dan jejaring profesional, serta penyederhanaan layanan digitalisasi tenaga kerja.

Keempat, keterbatasan pembiayaan bagi pelaku ekonomi digital khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). 

Laporan EV-DCI merekomendasikan penguatan sektor UMKM digital dengan berbagai upaya strategis, seperti pelatihan kompetensi digital termasuk pemasaran berbasis AI, pemberian insentif, dan pengembangan platform pembiayaan UMKM berbasis data dan analitik.

“Manifestasi transformasi digital yang berkeadilan memerlukan kolaborasi sinergis antara pemerintah sebagai penentu arah kebijakan, sektor swasta sebagai motor inovasi, serta kontribusi aktif dari kalangan akademisi, komunitas, dan masyarakat sipil,” demikian keterangan riset EV-DCI.

Laporan EV-DCI ini pun merekomendasikan tiga strategi untuk mendorong transformasi digital yang inklusif.

  1. Optimalisasi program prioritas nasional oleh pemerintah dengan teknologi terkini,
  2. Penguatan ekosistem digital melalui regulasi, infrastruktur, dan talenta digital.
  3. Pemerataan ekonomi digital secara menyeluruh.

Ekosistem AI

East Ventures melalui ekosistem portofolionya turut memainkan peranan penting dalam memperkuat inklusi keuangan dan digital di daerah.

Contohnya Mekari yang membantu pelaku UMKM dan pekerja informal dengan menawarkan solusi akuntansi dan Human Resources (HR). Ada pula Xendit yang memperluas akses pembayaran digital hingga ke merchant yang berada di luar pusat ekonomi besar.

Tidak hanya memberikan solusi kepada masyarakat, startup binaan East Ventures turut menggelar kolaborasi dengan pemerintah. Komunal, misalnya, bekerja sama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk mendigitalisasi proses kredit dan meningkatkan efisiensi operasional lembaga keuangan lokal.

Lalu, McEasy menjalin kemitraan aktif dalam digitalisasi administrasi daerah dan sistem transportasi, termasuk melalui kerja sama dengan Dinas Perhubungan (Dishub) untuk sosialisasi penerapan teknologi.

Perusahaan portofolio East Ventures juga mengadopsi AI untuk merespons tren digital secara masif dan kontekstual. waresix bisa menjadi contoh startup logistik yang memanfaatkan AI untuk menyederhanakan manajemen armada dan meningkatkan akurasi kedatangan.

Sementara itu, Xendit memanfaatkan AI untuk mendeteksi fraud dan otomatisasi layanan pelanggan. Ada pula Stockbit, aplikasi investasi yang menggunakan AI untuk mengembangkan produk dan layanan.

Secara keseluruhan, respons startup East Ventures terhadap pemanfaatan AI mencerminkan kesiapan industri untuk menjawab tantangan efisiensi dan pelayanan berbasis data di tengah percepatan transformasi digital nasional. 

Sebagai langkah konkret, East Ventures meluncurkan IndoBuild AI, platform kolaboratif bagi inovator AI untuk mengembangkan solusi di sektor kesehatan, pendidikan, pemerintahan, dan lainnya. Platform tersebut berawal dari program workshop dari AWS, Alibaba Cloud dan Google, pada Maret 2025. 

Dalam prosesnya, pada tahapan Demo Day dan seleksi finalis, program ini memilih Lentera.ai dan LeaseSync sebagai pemenang. Mereka pun mendapatkan dukungan dari mitra seperti Alibaba Cloud dan AWS.

Penggunaan AI di Indonesia diproyeksikan mampu memberikan kontribusi sebesar 12% terhadap PDB atau setara US$366 miliar pada 2030.


Artikel asli telah diterbitkan di Katadata, 25 Juni 2025.